Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Rabu, 26 Maret 2014

Meaning of Friendship

Tittle   : Meaning of Friendship
Genre : real life, friendship, idk --"
Copyright : 
Aku membuat cerita ini dengan ide cerita yang susah payah kudapat. Bukan cerita yang special memang, tapi untuk menuliskan kata-kata yang membuat pembaca bahagia adalah tantangan untukku. This is my work, my story, my piece of mind, so please don't steal it no matter what.


Inspired by real-life of seven best friends. (who? it's a secret)
...

Dunia berputar dengan cepat, hanya itu yang dirasakan Rena kali ini. Pikirannya melayang ke segala penjuru, menjejakkan kaki ke area permainan pikiran yang kadang membuatnya ingin menghilang saja.
              Secara misterius, ia mulai memandangi wajah-wajah di sekitarnya seakan tahu bahwa ia akan merindukan wajah-wajah itu di suatu waktu. Namun cepat-cepat ia menepis pikiran itu dan lebih memilih untuk terlarut di dalam heningnya alam mimpi.
              Baru beberapa bulan lalu ia naik ke kelas 9. Hanya dalam beberapa bulan itu pula ia telah menggenggam kabar baik dan buruk di kedua tangannya. Baiknya ia telah berhasil melangkahkan kakinya lebih jauh. Kemudian buruknya, ia mungkin terlalu banyak memikirkan suatu hal yang begitu abstrak untuk gadis seusianya. Belakangan ini dia tengah terlibat ke dalam kisah persahabatan yang menurutnya sangat klise. Terlalu klise hingga ia berpikir bahwa persahabatannya itu terlalu muluk dan sedikit kekanak-kanakan. Selain itu, ia hanya tidak suka ketika seseorang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya dan berlagak sok tahu. 
           "Kenapa hidupku mendadak berubah menjadi begitu fiktif? Ini terlalu aneh. Aku mulai merindukan diriku yang lama." gumamnya seorang diri.
...
            Hari demi hari ia lalui seperti biasa. Semacam rutinitas konstan yang terus ia lakukan bersama Fani, Mitha, dan Isna. tiga dari enam orang yang sudi mengikrarkan diri sebagai sahabatnya. Kebetulan ketiganya satu kelas, sedangkan Riri, Tania, dan Naya saling terpencar di kelas yang lain.
              Hari-hari biasa itu semakin lama semakin tampak berbeda. Bukan karena rutinitas mereka yang mendadak jadi kacau, tapi karena Rena. Hampir sepanjang hari itu ia tampak begitu diam. Seolah jiwanya tengah pergi entah kemana dan meninggalkan raganya untuk beberapa lama. Diam tak bergeming. Seutas senyum miliknya pun tak lagi nampak.
              "Ren, kamu kok diam saja?" tanya Fani mencoba menghapus raut datar yang tak seharusnya menghinggapi wajah Rena. Mungkinkah ia pusing? Mungkinkah ia sedang sakit? Fani tidak tahu. Ia mulai menimang-nimang kata apa yang harus ia ucapkan selanjutnya untuk mengembalikan senyum khas yang biasa Rena lontarkan pada mereka.
Mendapati seseorang tengah menunggu jawabannya, gadis itu hanya menggeleng biasa walau lebih tampak seperti seorang sinister bagi Fani untuk beberapa alasan. "Tidak apa-apa." jawab Rena singkat. Ia lantas meninggalkan kelas dengan sebuah novel tanggung yang dipinjamnya dari perpustakaan.
              "Nana*, mau kemana?"  timpal Isna. (* panggilan khusus)
              Kali ini Rena hanya diam. Dia tidak sedang ingin berbicara sepatah katapun. Ia hanya menginginkan waktu untuk dirinya sendiri, sesekali saja. Waktu yang cukup lama mungkin. Ia berharap sahabat-sahabatnya bisa mengerti. Tolong mengertilah, atau haruskah aku yang mengajari kalian untuk bisa mengerti? Batin Rena.
              Dua hari sudah sikap Rena tak kunjung membaik. Dia datang dan pergi begitu saja tanpa seorang pun yang menyadari. Ia memang cukup lihai dalam hal pergi tanpa diketahui. Seakan sekolah tempatnya berada tidak lain hanyalah sebuah tempat bermain untuknya.
              Sahabat-sahabatnya mulai berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu. Mereka berkumpul sepulang sekolah di sebuah ruangan yang biasanya digunakan untuk tempat ganti.
              "Apa kau yakin kau ingin kita terus begini?" desah Riri setelah membuang nafas panjangnya. Mencoba segenap tenaga untuk tidak mengomel macam-macam. Sabar, tahan sebentar lagi. Ini soal Rena.
              "Rena benar-benar jadi sedingin itu? Kau tidak bercanda kan?" sahut Tania masih setengah tidak percaya. Pasalnya ia tidak pernah benar-benar melihat bagaimana Rena dan segudang hal yang masih tertimbun rapi di dalam gadis itu. Setahunya, gadis itu tidak pernah bisa begitu ekspresif. Ia seperti patung lilin berjalan. Ekspresi di wajahnya hanya itu-itu saja. Mendapati ia bisa bersikap begitu dingin... itu sesuatu yang begitu mencengangkan entah kenapa.
"Lalu kau ingin kami bagaimana, Ri?" celoteh Mitha tak karuan. Ini pertama kalinya ia harus berurusan dengan masalah pertemanan yang serumit ini.
              Setelah cukup lama berdiskusi di dalam sana, tidak ada satupun titik terang yang bisa mengantar mereka pada sebuah konklusi. Malah, percakapan tentang Rena itu mendadak begitu menyesakkan di dada. Masing-masing dari mereka mulai bertanya pada diri mereka sendiri. Jalan keluar seperti apa yang harus buat? Kenapa pula hal serumit ini sudah harus mereka rasakan ketika mereka baru saja menciptakan sebuah tali pertemanan. Akankah ini salah satu skenario menuju kedewasaan yang telah Tuhan rancang sedari awal. Tidakkah mereka terlalu muda untuk mengerti hal semacam itu? Entahlah. Mereka tidak tahu, tepatnya tidak ingin tahu. Yang terpenting untuk saat ini adalah mencari tahu alasan kenapa Rena mulai pergi menjauh.
              "Aku tahu itu semua pilihannya, tapi kuharap ini hanya candaan kejam yang ia buat. Apapun yang terjadi, aku tidak ingin realita merenggut Rena dari kita. Kita bahkan baru membentuk forum kecil ini. Tidak lucu kalau kita lantas membubarkannya begitu saja." kata Riri penuh keyakinan.
Mendengar kata-kata Riri, spontan Isna merengek seperti anak kecil. Hampir disusul Naya jika bukan karena Mitha menghentikannya,
              "Astaga, Naya!" seru Mitha setengah emosi. "Jangan bilang kau mau ikut-ikutan menangis!"
              Naya hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin ia ingin bertahan, menyembunyikan butiran embun yang entah sejak kapan sudah menyembung di kedua sudut matanya. Ia hanya tidak ingin terlihat cengeng.
              "Ayo segera bereskan masalah ini. Kita semua harus mengajaknya bicara." putus Fani sekenanya, yang ternyata disetujui oleh semua orang.

              Putusan kemarin memberikan sedikit keberanian bagi mereka. Keenam sahabat itu mencoba mendekati Rena secara bergantian. Berharap hatinya bisa luluh dengan suatu cara.
              Sayang sekali, bukannya luluh justru semakin dingin jadinya sikap si Rena. Dia tidak pernah menggubris keberadaan mereka, selain hanya meninggalkan secarik surat yang menunjukkan bahwa ia masih seorang manusia yang memiliki hati.
...
              "Apakah mereka mengerti? Akankah mereka mengerti?" dengusnya setelah menyerahkan secarik surat pada enam orang kesayangannya. Sahabatnya.
              Novel digenggamannya ia biarkan begitu saja untuk beberapa saat. Hatinya sedang menggundah. Benar-benar bukan perasaan yang menyenangkan untuk mulai membaca cerita fiksi. Hati yang dipaksa tidak akan melarutkannya pada sebuah alur yang menenangkan jiwa, tapi akan membuatnya seolah mengambang di tengah samudera. Hah, andai saja aku bisa langsung melisankan apa yang kupikirkan. Astaga, kau ini dianugerahi lisan tapi tak kau gunakan dengan benar. Makhluk macam apa kau ini, dasar tidak tahu rasa syukur. Batinnya mencaci dirinya sendiri.
              Esok harinya, Rena mendapati sebuah surat balasan di bawah bangkunya. Balasan surat dari teman-temannya. Ia tidak kaget kalau temannya akan melakukan hal demikian, meski terus terang ia tidak pernah mengharapkan hal itu akan terjadi.
Perlahan ia buka surat itu dan membacanya dengan penuh seksama.
              Jadi yang seperti ini yang mereka pikirkan. "Benarkah seperti ini yang kalian pikirkan?" ucap Rena kemudian melumat kertas itu.
              Lagi, Rena menyobek secarik kertas dari bukunya untuk membuat sebuah surat balasan. Ini kali kedua ia menulis surat untuk semua temannya. Kali ini ia ingin memastikan bahwa surat yang ia tulis benar-benar bisa dimengerti oleh teman-temannya. Meski itu artinya harus membutuhkan beberapa hari lagi.
              “Apakah aku benar-benar harus melisankan keinginanku nantinya? Aku benci itu.” Dengusnya kesal.

              Baru setengah jalan, tangannya mendadak berhenti menggoreskan tinta hitam ke secarik kertas itu. Ia sadar ia tidak bisa memenangkan hatinya seorang. "Ah, aku hanya ingin kalian mengerti. Tapi bagaimana kalian bisa mengerti jika kalian meperspektifkannya dengan cara seperti ini? Terlalu gamblang, dan..." Ia menggigit bibir bawahnya. "Ah, sudahlah. Mungkin memang seperti inilah kalian. Sepertinya aku saja yang sudah sedikit keterlaluan." Bagaimanapun juga, Rena tak sanggup melihat orang lain terluka.
              “Maafkan aku..” desah Rena. Ia mengusap wajahnya sambil menghela nafas panjang. “Heh, apa lagi yang kuharapkan? Bukankah seperti inilah persahabatan? Aku beruntung. Ternyata mereka ini orang-orang yang peduli.”
              Bergegas ia meremas semua tulisan itu, dan menggantinya dengan kertas yang baru. Dengan penuh keyakinan, ia mulai merevisi seluruh tulisannya.
Maafkan aku…
              Aku tahu aku bukan sahabat baik. Bukan seseorang yang cukup baik untuk melengkapi kalian, karena sama seperti kalian aku ini juga manusia dengan beribu celah. Kuhargai segala usaha kalian, sungguh. Tapi aku hanya ingin sendiri, merenungi segalanya seorang diri sebelum mengiyakan apa yang tengah kupungkiri –perpisahan-. Satu kata itu benar-benar menyakitkan. Tidakkah kalian setuju? Meski di sisi lain aku pun sadar bahwa itu adalah suatu hal yang tak terhindarkan. Cepat atau lambat.
              Dari sekian banyak hal yang kutemui di dunia. Terus terang saja aku tidak ingin melepaskan persahabatan kita. Tapi aku tidak ingin kalian tersakiti karena aku, karena segala sifat yang mungkin lebih menyebalkan dari apapun, dari keegoisanku dan lainnya. Tidak. Jujur saja, aku tidak pernah sekalipun mendapat seorang sahabat seperti kalian. Orang-orang yang siapa sangka begitu mempedulikan sahabatnya. Kalian sahabat pertama yang pernah kubuat hingga sejauh ini. Seperti yang kau tahu, aku pergi berkeliaran seorang diri, melakukan segalanya sendiri. Mau bagaimana lagi, kalian tahu aku kan… aku memang seorang penyendiri, pendiam, dan mungkin memang pemalu.
              Hfft… Aku mengerti kalau kalian juga tersakiti. Maafkan aku, sungguh, maafkan aku. Aku masih mengingat beberapa cuplikan surat kalian. Maaf karena aku sudah melumatnya sekarang ini.
“… Persahabatan kita mungkin tidak akan bisa seperti ini selamanya. Omong kosong jika suatu hal/benda di dunia ini bisa bertahan selamanya. Kita bahkan tidak abadi. Tuhan tidak menciptakan kita sebagai makhluk yang abadi. Tapi kami mohon, janganlah kau pikirkan itu. Kita jalani saja apa yang masih bisa kita jalani. Urusan nanti, hanya Tuhan yang tahu. Lagipula kau sahabat kami, salah satu dari kami, bagian jiwa kami.. tidak akan pernah ada arti lengkap jika kau menghilang dari sisi kami. Bisakah kau kembali menjadi Rena yang selalu ingin kami temui? Rena yang seperti biasanya. …”
              Terimakasih sudah menganggapku demikian. Aku juga sadar bahwa.. ah sudahlah. Mungkin karena keegoisanku juga hal serumit ini harus terjadi. Atau mungkin di satu sisi, ada bagian dari diriku yang juga tidak ingin tersakiti. Maafkan aku.
              Tapi aku tetap membutuhkan waktu untuk sendiri. Tolong beri aku waktu… Tidakkah kalian keberatan? Hanya beberapa waktu. Setelah itu, setelah semuanya membaik, setelah semua keegoisanku ini lebur bersama sunyinya kata sendiri, aku janji aku akan kembali dengan senyuman paling lebar yang pernah kalian temui dariku.

Kau bisa pegang kata-kataku…
Maafkan aku, semuanya…
(Tertanda)
Rena

Rena lantas melipat kertas itu lalu menyembunyikannya di bawah bangku Fani. Seorang sahabat yang dinilainya lebih peka. Dia pasti segera menyadari keberadaan surat balasan itu.
              Selang beberapa hari dari hari terakhir Rena menyerahkan surat balasannya, tampak tidak ada satupun yang berubah. Apakah surat balasan itu benar-benar suatu kebenaran ataukah sebuah omong kosong yang dibuatnya untuk melarikan diri lagi? Entahlah, dan hal itu spontan mengukir jutaan raut wajah tidak bahagia pada masing-masing orang. Semua orang tampak bertanya-tanya.
              “Apa kita sungguh-sungguh harus melepaskannya jika ia benar tidak akan kembali menjadi Rena kita?” ucap Naya dengan nada putus asa.
              Tanpa ada yang menyadari, seorang gadis yang tengah mereka bicarakan sudah berdiri agak jauh dari mereka. Tepat sekali, itu adalah Rena. Aura keruh tampak menyebar memenuhi sekelilingnya. Segera saja ia sadar, bahwa sahabat-sahabatnya itu mulai berputus asa kalau-kalau ia tidak akan berubah. Sambil sedikit bersandiwara, ia melewati keenam sahabatnya itu begitu saja.
              Aneh sekali, kenapa tidak ada reaksi? Batin Rena.
              Ia lantas berhenti lalu berbalik ke arah mereka. “Sungguh, tidakkah kalian merindukanku?” ucapnya dengan senyuman lebar.
              Teman-temannya kaget alang kepalang. Benarkah? Benarkah itu Rena? Satu persatu dari mereka mulai bersorak kegirangan dengan sedikit haru biru yang masih terasa lekat.
              “Kau sudah tak butuh waktu untuk menyendiri?” Tanya Mitha mengintrogasi.
              “Sebenarnya aku masih sangat membutuhkannya. Maksudku, siapapun pasti membutuhkan waktu untuk diri mereka” Balas Rena. “Tapi, bukankah aku sudah berjanji pada kalian bahwa aku akan kembali begitu semuanya sudah membaik? Kau bilang kita sahabat kan?”
              “Aish! Jangan lakukan itu lagi, kau paham?” sahut Mitha. Yang kemudian disusul omelan panjang Riri untuk Rena. Tapi syukurlah, semua sudah menjadi lebih baik. Sebuah pelajaran berharga yang bisa mereka petik untuk memperkuat tali persahabatan mereka. “Lainkali, berbagilah dengan kami kalau ada masalah. Suka-duka, pahit-manis, yang manapun itu. Karena sahabat selalu berbagi. Kami akan berusaha untuk selalu ada untukmu.” Riri.
- also posted in : http://blog.yess-online.com/what-you-call-friendship#sthash.nl8q3aFr.dpuf


0 komentar:

Posting Komentar