Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Sounds of Harmony

Maybe for once in a while you have to pay attention, even to the very simple thing in your life. Try to listen to the words that have to be listened. Maybe one day, You'll find that sound of harmony.

Power of Faith

Hope is something that easy to get, but hard to be held. If you never give up on your hope, it's not just people will acknowledge you but also God will rewarded you. There is nothing wrong about having Faith. Instead, having no faith is something like a lost man in nowhere. Don't you think?

Reason of Dream

Dream is like a whole empty sheat you have to fulfill so you can take your score and your star. Then your effort would be like a pen to help you fulfill your sheat. After that you'll realize "the all written sheat is actually the story of your life."

Taste of Life

"Love, Laugh, and Sincere," are always being the best feelings in life. But not to forget that "Hurt, Tears, and Regret" are always be the most precious thing which can teach you how to taste both the good and bad favours in your life.

Secret of Mind

If you want to be desperate, Just say "I am Useless!" and your spirit will be gone in no time. But if you REALLY want to be better, NEVER say such thing. Just say "I'm good enough, cos I am ME. No one can change." remember that God create you because of some reasons, some mission, something means you're NOT USELESS AT ALL. You have to find it on your own.

Rabu, 26 Maret 2014

Meaning of Friendship

Tittle   : Meaning of Friendship
Genre : real life, friendship, idk --"
Copyright : 
Aku membuat cerita ini dengan ide cerita yang susah payah kudapat. Bukan cerita yang special memang, tapi untuk menuliskan kata-kata yang membuat pembaca bahagia adalah tantangan untukku. This is my work, my story, my piece of mind, so please don't steal it no matter what.


Inspired by real-life of seven best friends. (who? it's a secret)
...

Dunia berputar dengan cepat, hanya itu yang dirasakan Rena kali ini. Pikirannya melayang ke segala penjuru, menjejakkan kaki ke area permainan pikiran yang kadang membuatnya ingin menghilang saja.
              Secara misterius, ia mulai memandangi wajah-wajah di sekitarnya seakan tahu bahwa ia akan merindukan wajah-wajah itu di suatu waktu. Namun cepat-cepat ia menepis pikiran itu dan lebih memilih untuk terlarut di dalam heningnya alam mimpi.
              Baru beberapa bulan lalu ia naik ke kelas 9. Hanya dalam beberapa bulan itu pula ia telah menggenggam kabar baik dan buruk di kedua tangannya. Baiknya ia telah berhasil melangkahkan kakinya lebih jauh. Kemudian buruknya, ia mungkin terlalu banyak memikirkan suatu hal yang begitu abstrak untuk gadis seusianya. Belakangan ini dia tengah terlibat ke dalam kisah persahabatan yang menurutnya sangat klise. Terlalu klise hingga ia berpikir bahwa persahabatannya itu terlalu muluk dan sedikit kekanak-kanakan. Selain itu, ia hanya tidak suka ketika seseorang tiba-tiba masuk ke dalam hidupnya dan berlagak sok tahu. 
           "Kenapa hidupku mendadak berubah menjadi begitu fiktif? Ini terlalu aneh. Aku mulai merindukan diriku yang lama." gumamnya seorang diri.
...
            Hari demi hari ia lalui seperti biasa. Semacam rutinitas konstan yang terus ia lakukan bersama Fani, Mitha, dan Isna. tiga dari enam orang yang sudi mengikrarkan diri sebagai sahabatnya. Kebetulan ketiganya satu kelas, sedangkan Riri, Tania, dan Naya saling terpencar di kelas yang lain.
              Hari-hari biasa itu semakin lama semakin tampak berbeda. Bukan karena rutinitas mereka yang mendadak jadi kacau, tapi karena Rena. Hampir sepanjang hari itu ia tampak begitu diam. Seolah jiwanya tengah pergi entah kemana dan meninggalkan raganya untuk beberapa lama. Diam tak bergeming. Seutas senyum miliknya pun tak lagi nampak.
              "Ren, kamu kok diam saja?" tanya Fani mencoba menghapus raut datar yang tak seharusnya menghinggapi wajah Rena. Mungkinkah ia pusing? Mungkinkah ia sedang sakit? Fani tidak tahu. Ia mulai menimang-nimang kata apa yang harus ia ucapkan selanjutnya untuk mengembalikan senyum khas yang biasa Rena lontarkan pada mereka.
Mendapati seseorang tengah menunggu jawabannya, gadis itu hanya menggeleng biasa walau lebih tampak seperti seorang sinister bagi Fani untuk beberapa alasan. "Tidak apa-apa." jawab Rena singkat. Ia lantas meninggalkan kelas dengan sebuah novel tanggung yang dipinjamnya dari perpustakaan.
              "Nana*, mau kemana?"  timpal Isna. (* panggilan khusus)
              Kali ini Rena hanya diam. Dia tidak sedang ingin berbicara sepatah katapun. Ia hanya menginginkan waktu untuk dirinya sendiri, sesekali saja. Waktu yang cukup lama mungkin. Ia berharap sahabat-sahabatnya bisa mengerti. Tolong mengertilah, atau haruskah aku yang mengajari kalian untuk bisa mengerti? Batin Rena.
              Dua hari sudah sikap Rena tak kunjung membaik. Dia datang dan pergi begitu saja tanpa seorang pun yang menyadari. Ia memang cukup lihai dalam hal pergi tanpa diketahui. Seakan sekolah tempatnya berada tidak lain hanyalah sebuah tempat bermain untuknya.
              Sahabat-sahabatnya mulai berkumpul untuk mendiskusikan sesuatu. Mereka berkumpul sepulang sekolah di sebuah ruangan yang biasanya digunakan untuk tempat ganti.
              "Apa kau yakin kau ingin kita terus begini?" desah Riri setelah membuang nafas panjangnya. Mencoba segenap tenaga untuk tidak mengomel macam-macam. Sabar, tahan sebentar lagi. Ini soal Rena.
              "Rena benar-benar jadi sedingin itu? Kau tidak bercanda kan?" sahut Tania masih setengah tidak percaya. Pasalnya ia tidak pernah benar-benar melihat bagaimana Rena dan segudang hal yang masih tertimbun rapi di dalam gadis itu. Setahunya, gadis itu tidak pernah bisa begitu ekspresif. Ia seperti patung lilin berjalan. Ekspresi di wajahnya hanya itu-itu saja. Mendapati ia bisa bersikap begitu dingin... itu sesuatu yang begitu mencengangkan entah kenapa.
"Lalu kau ingin kami bagaimana, Ri?" celoteh Mitha tak karuan. Ini pertama kalinya ia harus berurusan dengan masalah pertemanan yang serumit ini.
              Setelah cukup lama berdiskusi di dalam sana, tidak ada satupun titik terang yang bisa mengantar mereka pada sebuah konklusi. Malah, percakapan tentang Rena itu mendadak begitu menyesakkan di dada. Masing-masing dari mereka mulai bertanya pada diri mereka sendiri. Jalan keluar seperti apa yang harus buat? Kenapa pula hal serumit ini sudah harus mereka rasakan ketika mereka baru saja menciptakan sebuah tali pertemanan. Akankah ini salah satu skenario menuju kedewasaan yang telah Tuhan rancang sedari awal. Tidakkah mereka terlalu muda untuk mengerti hal semacam itu? Entahlah. Mereka tidak tahu, tepatnya tidak ingin tahu. Yang terpenting untuk saat ini adalah mencari tahu alasan kenapa Rena mulai pergi menjauh.
              "Aku tahu itu semua pilihannya, tapi kuharap ini hanya candaan kejam yang ia buat. Apapun yang terjadi, aku tidak ingin realita merenggut Rena dari kita. Kita bahkan baru membentuk forum kecil ini. Tidak lucu kalau kita lantas membubarkannya begitu saja." kata Riri penuh keyakinan.
Mendengar kata-kata Riri, spontan Isna merengek seperti anak kecil. Hampir disusul Naya jika bukan karena Mitha menghentikannya,
              "Astaga, Naya!" seru Mitha setengah emosi. "Jangan bilang kau mau ikut-ikutan menangis!"
              Naya hanya bisa menggigit bibir bawahnya. Sebisa mungkin ia ingin bertahan, menyembunyikan butiran embun yang entah sejak kapan sudah menyembung di kedua sudut matanya. Ia hanya tidak ingin terlihat cengeng.
              "Ayo segera bereskan masalah ini. Kita semua harus mengajaknya bicara." putus Fani sekenanya, yang ternyata disetujui oleh semua orang.

              Putusan kemarin memberikan sedikit keberanian bagi mereka. Keenam sahabat itu mencoba mendekati Rena secara bergantian. Berharap hatinya bisa luluh dengan suatu cara.
              Sayang sekali, bukannya luluh justru semakin dingin jadinya sikap si Rena. Dia tidak pernah menggubris keberadaan mereka, selain hanya meninggalkan secarik surat yang menunjukkan bahwa ia masih seorang manusia yang memiliki hati.
...
              "Apakah mereka mengerti? Akankah mereka mengerti?" dengusnya setelah menyerahkan secarik surat pada enam orang kesayangannya. Sahabatnya.
              Novel digenggamannya ia biarkan begitu saja untuk beberapa saat. Hatinya sedang menggundah. Benar-benar bukan perasaan yang menyenangkan untuk mulai membaca cerita fiksi. Hati yang dipaksa tidak akan melarutkannya pada sebuah alur yang menenangkan jiwa, tapi akan membuatnya seolah mengambang di tengah samudera. Hah, andai saja aku bisa langsung melisankan apa yang kupikirkan. Astaga, kau ini dianugerahi lisan tapi tak kau gunakan dengan benar. Makhluk macam apa kau ini, dasar tidak tahu rasa syukur. Batinnya mencaci dirinya sendiri.
              Esok harinya, Rena mendapati sebuah surat balasan di bawah bangkunya. Balasan surat dari teman-temannya. Ia tidak kaget kalau temannya akan melakukan hal demikian, meski terus terang ia tidak pernah mengharapkan hal itu akan terjadi.
Perlahan ia buka surat itu dan membacanya dengan penuh seksama.
              Jadi yang seperti ini yang mereka pikirkan. "Benarkah seperti ini yang kalian pikirkan?" ucap Rena kemudian melumat kertas itu.
              Lagi, Rena menyobek secarik kertas dari bukunya untuk membuat sebuah surat balasan. Ini kali kedua ia menulis surat untuk semua temannya. Kali ini ia ingin memastikan bahwa surat yang ia tulis benar-benar bisa dimengerti oleh teman-temannya. Meski itu artinya harus membutuhkan beberapa hari lagi.
              “Apakah aku benar-benar harus melisankan keinginanku nantinya? Aku benci itu.” Dengusnya kesal.

              Baru setengah jalan, tangannya mendadak berhenti menggoreskan tinta hitam ke secarik kertas itu. Ia sadar ia tidak bisa memenangkan hatinya seorang. "Ah, aku hanya ingin kalian mengerti. Tapi bagaimana kalian bisa mengerti jika kalian meperspektifkannya dengan cara seperti ini? Terlalu gamblang, dan..." Ia menggigit bibir bawahnya. "Ah, sudahlah. Mungkin memang seperti inilah kalian. Sepertinya aku saja yang sudah sedikit keterlaluan." Bagaimanapun juga, Rena tak sanggup melihat orang lain terluka.
              “Maafkan aku..” desah Rena. Ia mengusap wajahnya sambil menghela nafas panjang. “Heh, apa lagi yang kuharapkan? Bukankah seperti inilah persahabatan? Aku beruntung. Ternyata mereka ini orang-orang yang peduli.”
              Bergegas ia meremas semua tulisan itu, dan menggantinya dengan kertas yang baru. Dengan penuh keyakinan, ia mulai merevisi seluruh tulisannya.
Maafkan aku…
              Aku tahu aku bukan sahabat baik. Bukan seseorang yang cukup baik untuk melengkapi kalian, karena sama seperti kalian aku ini juga manusia dengan beribu celah. Kuhargai segala usaha kalian, sungguh. Tapi aku hanya ingin sendiri, merenungi segalanya seorang diri sebelum mengiyakan apa yang tengah kupungkiri –perpisahan-. Satu kata itu benar-benar menyakitkan. Tidakkah kalian setuju? Meski di sisi lain aku pun sadar bahwa itu adalah suatu hal yang tak terhindarkan. Cepat atau lambat.
              Dari sekian banyak hal yang kutemui di dunia. Terus terang saja aku tidak ingin melepaskan persahabatan kita. Tapi aku tidak ingin kalian tersakiti karena aku, karena segala sifat yang mungkin lebih menyebalkan dari apapun, dari keegoisanku dan lainnya. Tidak. Jujur saja, aku tidak pernah sekalipun mendapat seorang sahabat seperti kalian. Orang-orang yang siapa sangka begitu mempedulikan sahabatnya. Kalian sahabat pertama yang pernah kubuat hingga sejauh ini. Seperti yang kau tahu, aku pergi berkeliaran seorang diri, melakukan segalanya sendiri. Mau bagaimana lagi, kalian tahu aku kan… aku memang seorang penyendiri, pendiam, dan mungkin memang pemalu.
              Hfft… Aku mengerti kalau kalian juga tersakiti. Maafkan aku, sungguh, maafkan aku. Aku masih mengingat beberapa cuplikan surat kalian. Maaf karena aku sudah melumatnya sekarang ini.
“… Persahabatan kita mungkin tidak akan bisa seperti ini selamanya. Omong kosong jika suatu hal/benda di dunia ini bisa bertahan selamanya. Kita bahkan tidak abadi. Tuhan tidak menciptakan kita sebagai makhluk yang abadi. Tapi kami mohon, janganlah kau pikirkan itu. Kita jalani saja apa yang masih bisa kita jalani. Urusan nanti, hanya Tuhan yang tahu. Lagipula kau sahabat kami, salah satu dari kami, bagian jiwa kami.. tidak akan pernah ada arti lengkap jika kau menghilang dari sisi kami. Bisakah kau kembali menjadi Rena yang selalu ingin kami temui? Rena yang seperti biasanya. …”
              Terimakasih sudah menganggapku demikian. Aku juga sadar bahwa.. ah sudahlah. Mungkin karena keegoisanku juga hal serumit ini harus terjadi. Atau mungkin di satu sisi, ada bagian dari diriku yang juga tidak ingin tersakiti. Maafkan aku.
              Tapi aku tetap membutuhkan waktu untuk sendiri. Tolong beri aku waktu… Tidakkah kalian keberatan? Hanya beberapa waktu. Setelah itu, setelah semuanya membaik, setelah semua keegoisanku ini lebur bersama sunyinya kata sendiri, aku janji aku akan kembali dengan senyuman paling lebar yang pernah kalian temui dariku.

Kau bisa pegang kata-kataku…
Maafkan aku, semuanya…
(Tertanda)
Rena

Rena lantas melipat kertas itu lalu menyembunyikannya di bawah bangku Fani. Seorang sahabat yang dinilainya lebih peka. Dia pasti segera menyadari keberadaan surat balasan itu.
              Selang beberapa hari dari hari terakhir Rena menyerahkan surat balasannya, tampak tidak ada satupun yang berubah. Apakah surat balasan itu benar-benar suatu kebenaran ataukah sebuah omong kosong yang dibuatnya untuk melarikan diri lagi? Entahlah, dan hal itu spontan mengukir jutaan raut wajah tidak bahagia pada masing-masing orang. Semua orang tampak bertanya-tanya.
              “Apa kita sungguh-sungguh harus melepaskannya jika ia benar tidak akan kembali menjadi Rena kita?” ucap Naya dengan nada putus asa.
              Tanpa ada yang menyadari, seorang gadis yang tengah mereka bicarakan sudah berdiri agak jauh dari mereka. Tepat sekali, itu adalah Rena. Aura keruh tampak menyebar memenuhi sekelilingnya. Segera saja ia sadar, bahwa sahabat-sahabatnya itu mulai berputus asa kalau-kalau ia tidak akan berubah. Sambil sedikit bersandiwara, ia melewati keenam sahabatnya itu begitu saja.
              Aneh sekali, kenapa tidak ada reaksi? Batin Rena.
              Ia lantas berhenti lalu berbalik ke arah mereka. “Sungguh, tidakkah kalian merindukanku?” ucapnya dengan senyuman lebar.
              Teman-temannya kaget alang kepalang. Benarkah? Benarkah itu Rena? Satu persatu dari mereka mulai bersorak kegirangan dengan sedikit haru biru yang masih terasa lekat.
              “Kau sudah tak butuh waktu untuk menyendiri?” Tanya Mitha mengintrogasi.
              “Sebenarnya aku masih sangat membutuhkannya. Maksudku, siapapun pasti membutuhkan waktu untuk diri mereka” Balas Rena. “Tapi, bukankah aku sudah berjanji pada kalian bahwa aku akan kembali begitu semuanya sudah membaik? Kau bilang kita sahabat kan?”
              “Aish! Jangan lakukan itu lagi, kau paham?” sahut Mitha. Yang kemudian disusul omelan panjang Riri untuk Rena. Tapi syukurlah, semua sudah menjadi lebih baik. Sebuah pelajaran berharga yang bisa mereka petik untuk memperkuat tali persahabatan mereka. “Lainkali, berbagilah dengan kami kalau ada masalah. Suka-duka, pahit-manis, yang manapun itu. Karena sahabat selalu berbagi. Kami akan berusaha untuk selalu ada untukmu.” Riri.
- also posted in : http://blog.yess-online.com/what-you-call-friendship#sthash.nl8q3aFr.dpuf


Senin, 24 Maret 2014

Journal #04

Journal #04 - Bertahan atau kehilangan harapan

Assalamu'alaikum untuk saudara saudari muslim dimanapun kalian berada.

Hai lagi!
Ini baru kelima kalinya aku menulis jurnal yang entah dianggap penting entah tidak. Hehe. Apa kalian sudah bosan? Maafkan aku, aku mungkin memang tidak menyenangkan.

Bertahan atau kehilangan harapan. Itu adalah tugas yang berat, akuilah.
Aku punya buku, judulnya Messages of Hope. Kubeli di gramed sekitar setahun yang lalu. Aku tidak ingat kapan tepatnya, mungkin lainkali aku akan mencatat tanggal pembelian di bukuku. Oke, terlepas dari itu, buku ini berisi tentang 150 Pesan untuk Hidup Penuh Pengharapan dan Kemenangan. Semacam quotes.

Buku-buku seperti ini sangat hebat. Kenapa? Karena buku-buku ini tidak ditujukan pada kita, tapi hati kita. Sebab, sebetulnya bukan diri kita yang bermasalah, tapi hati kita. Orang-orang yang menulis buku ini, pastilah orang-orang yang memiliki jiwa besar.. karena mereka bisa membuat suatu kata-kata menjadi pesan yang kemudian ditransfer menjadi kekuatan.

Dari sekian banyak quotes yang ada, salah satu yang saya paling suka adalah quotes yang berada di halaman 296. (Saya lupa quotes ke berapakah itu) Tapi quotes itu berbunyi :
"Kekuatan kita terbatas, tapi kekuatan Dia (Tuhan) tidak terbatas."

Kadang kita terlalu terfokus untuk belajar ini, dan itu. Kadang kita juga terlalu sibuk berusaha memotivasi diri sendiri. Tapi, sudahkah kita berdo'a? Tanpa berdo'a semuanya akan sia-sia. Jika Tuhan tidak membuka hatimu, bukankah itu jadi percuma? Selain itu, keyakinan adalah kekuatan yang mendasari harapan. Kau yakin kau bisa, sehingga kau pasti mau tidak mau, sadar tidak sadar, pasti mengharapkan hasil yang tinggi. Benar?

Itulah kenapa aku mengatakan bertahan atau kehilangan harapan. Karena ketika kau kehilangan satu saja keyakinanmu, maka kau akan kehilangan lebih banyak harapan. Secara, mau tidak mau kau akan down, kehilangan kepercayaan diri dan sebagainya, hingga pada akhirnya kau berada titik dimana kau mulai berhenti berharap, dan bahkan berhenti mengejar. Tapi, kau tahu.. tidak pernah ada kata mudah dalam kata bangkit. Memang tidak mudah membuat diri sendiri berdiri kembali, tapi pernahkah kau terpikir... "walau hanya sedikit, walau harus merangkak sepanjang jalan, itu jauh lebih baik dibanding berdiam diri."

Aku pun demikian. Aku adalah tipe orang yang sedikit tidak tertebak. Tipikal orang yang sulit. Ketika sedang down, perasaan kecewa, menyesal dan lainnya benar-benar menjadi racun. Seolah dunia pun tidak akan bisa membuatku berdiri. Sebanyak apapun aku mencari kata-kata motivasi, itu tidak akan memberiku banyak efek. Sebaliknya, aku mungkin akan membencinya.

Namun... aku entah bagaimana aku mendapat sedikit cahaya dari sebuah kata-kata. "Allah Maha Kuasa. RencanaNya selalu baik. Jika tidak berjalan dengan baik, maka itu pasti karena kesalahanku di suatu tempat, dimana aku tidak boleh mengulanginya. Pasti ada sesuatu yang baik di balik semuanya." Di saat semua kata-kata tidak berhasil membuatku berdiri, kata-kata ini mampu. Kenapa? Karena kata-kata itu muncul dari diriku sendiri. Kata-kata dari hati yang muncul dari dalam diri, kemudian dilisankan untuk diri sendiri dan orang lain.

Itu lebih mujarab. Jadi, jangan terlena akan semua yang kau dapat. Ingat : Tuhan selalu punya rencana yang baik. Dan.. Sekali-kali percayalah pada dirimu sendiri. Jangan bunuh hatimu.. biarkan ia hidup.

Kecewa, sakit, menyesal... tak apa! Itu wajar. Semua rasa tidak menyenangkan itu bisa membuat hatimu kuat, jika kau mau menerimanya dengan lapang dada.

Tak apa... katakan dengan lantang, "Aku akan baik-baik saja!"
Itu lebih baik dibanding mengatakan, aku payah, bodoh, dan sebagainya. Benar?

Jangan bunuh hatimu... :)
Bertahanlah... kalahkan ketakutanmu. Kalahkan segi negative mu... :)

Journal #04 berakhir di sini! Terimakasih sudah mengunjungi secarik journal kecil ini! Terimakasih! Datang lagi, ya! •﹏•

Keutamaan ILMU

Assalamu'alaikum...

Halo semuanya, apa kabar? Kabar baik? Alhamdulillah. Izinkan saya sekarang ini mengulas sedikit tentang ilmu, dan keutamaan mencari ilmu. (Jujur saja, sebelumnya ini adalah tugas yang diberikan guru saya. Hehe) Meskipun susunan kata-katanya agak nyleneh, saya harap kalian maklum. Dan... INGAT! Saya di sini bukan bermaksud menggurui, tapi hanya ingin berbagi. (Berbagi itu kan tidak berdosa, yang menjadikannya berdosa adalah objek yang dibagikan).

Oke, baiklah...
     Sebelumnya, adakah di antara kalian yang bertanya...
          "Apa itu ilmu?"
               "Kenapa ada yang namanya ilmu?"
     Atau mungkin...
          "Kenapa sih kita harus terus, wajib, dan senantiasa menuntut ilmu?"
     (Padahal ilmu itu kalaupun tidak dituntut juga tidak akan lari kemana-mana, kan? hehehe >w<)


-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Untuk menjawab pertanyaan yang pertama, yakni
"APA ITU ILMU?"
Kalau saya nyomot dari Wikipedia sih bunyinya begini :
      "Ilmu sains, atau ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia."

Hehe, mumet ya? Bahasanya susah dipahami? Hmm... iya sih. Tapi lihat, barusan saya nyomot lagi beberapa dari blog orang (asyrafmuda.blogspot.com)

ILMU itu...
- menurut bahasa :
          merupakan perkataan arab yaitu 'alima yang berarti mengetahui atau perbuatan yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran dari sesuatu.
 - menurut istilah :
          memberi arti tentang segala pengetahuan atau kebenaran tentang sesuatu yang datang dari Allah SWT yang diturunkan kepada rasul-rasulNya dan alam ciptaannya termasuk manusia yang memiliki aspek Lahiriah dan Batin

Jadi dapat didefinisikan :
     *Pengetahuan atau kepandaian mengenai suatu bisang yang disusun secara bersistem menurut kaedah dan cara tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan sesuatu yang berkaitan dengan bidang ilmu tersebut.*

Sebagai tambahan informasi (ceileh) ilmu Barat dan ilmu ISLAM itu tidak jauh berbeda loh... meski bukan berarti sama.
ILMU BARAT VS ILMU ISLAM

ILMU BARAT
* Dalam pengertian barat modern, ilmu hanyalah merujuk kepada pengenalan atau persepsi yang jelas tentang fakta. Fakta pula merujuk kepada perkara-perkara yang dapat diketahui lewat panca indera zahir dan bersifat empiris. Dimana jika panca indera tidak mampu menangkap hal yang dimaksud, maka dianggap bukan fakta dan tidak termasuk ke dalam bidang ilmu. Jika mengikuti pandangan mereka yang secara auti matrik (saya sendiri sebenarnya agak kurang paham dengan istilah ini. -_-" maaf...), maka ajaran agama tidak termasuk ke dalam bidang ilmu, melainkan dianggap sebagai kepercayaan saja. (Jadi jangan heran kalau kebanyakan ilmuan Barat, mohon maaf, cenderung atheis.)

ILMU ISLAM
* Islam menggabungkan agama dan ilmu. Tiada pertentangan antara agama dan ilmu dalam agama, malahan agaman itu sendiri dianggap sebagai ilmu, dan ilmu dapat dituntut lewat agama. Istilah itu mencakupi banyak hal / perkara, antaranya : Al-Qur'an, Syariah, Sunnah Iman, dan lain-lain. Penekanan terhadap ilmu jelas terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Selain itu, mendapat pengiktirafan Allah sebagai sumber tertinggi manusia, wahyu yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.


Wah... ini baru definisi loh. Panjang yah? Hehehe. Nggak apa-apa... hitung-hitung dapat ilmu. Lho, ini termasuk ilmu loh...! Jadi, kalau boleh saya simpulkan (Sebenarnya ini adalah definisi saya tentang ilmu. Boleh jadi mendekati benar, cukup bisa diterima, atau salah.)
    "Ilmu adalah suatu petunjuk berupa pengetahuan untuk kita (manusia) mengetahui atau menjadi diketahui tentang dan oleh suatu hal yang boleh jadi kita anggap asing, sehingga kita semakin tahu dan mengerti."
-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.- 
   
 -.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
YUK, sekarang kita melancong ke pertanyaan kedua
"KENAPA ADA YANG NAMANYA ILMU?"
Hmm... hm...
Kalau kalian bertanya begitu, boleh jadi jawabannya akan kalian temukan jika kalian menjawab pertanyaan, berikut :
"Kenapa ada yang namanya manusia?"

Hayo, kenapa coba? Adakah yang mau menjawab? Apa, terlalu banyak jawaban? 
Yah... kalau begitu jawaban untuk pertanyaan "Kenapa ada yang namanya ilmu" adalah... BANYAK JAWABAN! (xixixi)
Nah, misalkan kalian menjawab...
  1. Manusia ada untuk menjadi Khalifah di Bumi.
    * maka ilmu pun ada untuk menunjukkan pada manusia bagaimana caranya menjadi seorang khalifah (yang baik, tentunya)
  2. Manusia ada untuk Menghuni Bumi.
    * maka ilmu pun ada untuk memenuhi bumi dengan membuat penghuninya menjadi penghuni yang berkualitas, pandai, dan bijaksana.
  3. Manusia ada karena memang Diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang sempurna, dan diberi akal pikiran.
    * maka ilmu pun ada karena Allah sudah berbaik hati pada manusia dengan sengaja memberi petunjuk berupa ilmu pengetahuan (yang tentu saja tentang hal-hal yang terpuji) supaya akal pikiran manusia tidak tersesat gara-gara nafsu.
Bahkan jawaban yang paling "REMPONG" sekalipun bisa jadi jawaban yang Anda ingin baca :
          "MANUSIA ADA KARENA TAKDIR!"
Maka : ilmu pun ada karena sudah menjadi ketetetapan Allah. Suka-suka Allah gitu mau ngasih ilmu ke manusia. Kalau manusianya sendiri nggak mau dikasih ya sudah. Tapi kalau merugi ya jangan salahkan siapa-siapa.

See...? Ilmu sangat erat kaitannya dengan manusia. Terutama dalam kehidupan dunia dan akhirat. NGGAK PERCAYA? Astaghfirullah hal'adzim...

INGAT! "Anda mungkin bisa menghapuskan kata ilmu dari kamus. Tapi mau butuh waktu seribu tahun pun, Anda tidak akan bisa menghapus kata ilmu dari kehidupan manusia."

Buktikan aja deh kalau nggak percaya... =____="

Allah berfirman :

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ وَالْمَلَائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ ۚ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ  

     "Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang berilmu (juga menyatakan demikian itu). Tak ada Tuhan selain Dia (yang berhak disembah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."  
(Q.S. Al-Imran : 18)


Nah, kan... dari situ kita dapat tahu bahwa Allah menjadikan orang berilmu itu bersaksi atas ketauhidanNya. Sehingga, sebenarnya mau tidak mau ilmu itu harus menjadi satu kesatuan dengan kehidupan manusia. Terutama kehidupan orang-orang mukmin.
     Kenapa Allah menjadikan orang-orang berilmu itu sebagai saksi, dan bukan sembarang orang saja biar lebih mudah?
--  itu mungkin karena orang berilmu itu adalah seseorang yang bisa membedakan mana yang Haq (benar) dan mana yang Bathil (salah). Kenapa demikian? Karena dia sudah "mengetahui", karena dengan ilmu yang diberikan Allah kepadanya itulah ia menjadi lebih tahu.

Bayangkan...

   Apa jadinya jika Allah menjadikan orang selain orang berilmu menjadi saksi?
  1. Semua orang akan menjadi saksi. Tidak terkecuali orang yang tidak berakal (gila) dan para pendusta. Gampangnya, apa yang kalian pikirkan ketika mendengar kesaksian dari orang yang tidak waras? Perkataannya pasti nggak nyambung, nggak jelas, tidak sinkron, dan bahkan sulit dimengerti. Jika kalian dinasehati orang gila (misal disuruh nyebur ke kali, atau apalah..), akankah kalian mengikuti nasehat itu?
  2. Seandainya para pendusta ikut bersaksi. Apa yang kalian pikirkan ketika mendengar seorang pembohong bersaksi? Hmm.. yah, kalau pembohongnya udah lama tobat sih, okelah... bisa dipertimbangkan. Kalau tidak? Kalau pembohong itu forever jadi pembohong gimana coba? Sebentar-sebentar mereka akan mengatakan iya, sebentar-sebentar tidak. Besok bilang tidak, setelahnya bilang mungkin, lalu seterusnya ngomong yang lain. Nah loh! Bisakah kata-kata itu dipertanggungjawabkan? Pertanyaan sederhana : Apakah kalian akan mempercayai seorang pendusta yang sudah jelas-jelas mereka kerap berdusta? Pikirkan sendiri.
Yah begitulah saudara saudariku... ish, Naudzubillahimindalik. Semoga kita senantiasa diberi petunjuk oleh Allah SWT.
     Makanya ilmu itu harus kita cari. Allah saja sudah ngasih kita banyak, kok kitanya nggak bersyukur, dan anehnya malah tambah nggak peduli... Aduh! Puyeng deh! Khalifah macam apa kita ini? Mari kita renungkan.
 -.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.- 

 -.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
 Selanjutnya...
      Jeng! Jeng! Ini nih, topik terutama, terhangat, teruptodate sepanjang masa, ter...ter... yah, pokoknya yang pembahasannya nggak bakal tamat selama masih ada hayat (hidup).
"KENAPA ILMU HARUS TERUS, WAJIB, DAN SENANTIASA DITUNTUT?"
    Supaya kita tahu kah? Yap! Benar sekali. Masih panjang lagi kalau harus dijelaskan sedetail-detailnya. Nggak bakal rampung-rampung! Serius. Dan alangkah lebih baik kalau membahasnya sama orang-orang yang sudah expert alias ahli. Jangan saya...! Nanti Anda ilmunya hanya akan sebatas ilmu yang saya ketahui. Lha wong saya ini juga masih dalam taraf belajar kok. Pengetahuan saya masih terlalu dangkal, jadi saya pun juga harus menuntut ilmu yang banyak. Hehe...

Jadi, kalau ilmu itu memang penting dan harus selalu dicari, sejak kapan kita harus mencarinya?
... Sejak Sekolah Dasar?
   ... Sejak umur lima tahun?
      ... Sejak TK?
         ... Sejak Bayi?
YAK! Jawabannya adalah... pokoknya SEDINI MUNGKIN.

Pertanyaan lainnya...
Sampai kapan kita harus menuntut ilmu?
... Sampai lulus sekolah dasar / sekolah menengah pertama / sekolah menengah atas?
     ... Sampai kita kuliah semester akhir?
          ... Sampai menjadi sarjana?
               ... Sampai kita pensiun dari pekerjaan kita?
Benar! Jawabannya adalah... sampai kita DIPANGGIL ALLAH! dalam istilah lain berarti meninggal dunia.

Kalau kata Nabi sih...
     "Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat."

  Itu artinya : Kita dilarang keras untuk capek menuntut ilmu. RUGI 100%, tidak... bahkan 100000....% kalau sampai kita enggan menuntut ilmu.

Eh! apa itu artinya kita udah diwajibkan untuk menuntut ilmu sejak lahir?
 - Ho'oh! Bener banget! -

Jangan kira anak baru lahir itu tidak menuntut ilmu loh ya... Menuntut ilmu itu bukan berarti harus duduk di bangku sekolah. Tidak. Kalau anak bayi itu menuntut ilmu dari ibu bapaknya. Malah... tahu tidak bahwa hal itu tercantum pada sebuah syair dalam bahasa Arab :
"Al-ummu madrasatun-ula."
= Ibu adalah sekolah pertama.

Lewat ibu kita belajar mengatakan "ibu", "mama", "ayah", "papa", "maem", dan lain sebagainya. Beliau yang susah payah mengajari kita untuk duduk, berguling, merangkak, dan akhirnya bisa berjalan. Subhanallah... betapa besar jasa ibu.
Bahkan sebenarnya...
     Kita sudah menuntut ilmu sejak di dalam kandungan. Percaya? Tidak? Iya? Baik, saya asumsikan saja sebagai tidak. hehe.

      Saat di dalam kandungan, tubuh kita tentu mengalami perkembangan. Termasuk kemampuan otak kita. Di usia kehamilan tertentu, otak kita sudah dapat berfungsi meski belum optimal. Otak kita sudah bisa menangkap, dan mencerna informasi. Walau dengan kutipan : "informasi tersebut tidak serta merta kita cerna seluruhnya begitu saja." ibarat makan buah, kita masih dalam taraf "hanya mampu meminum sari buahnya saja". Itulah kenapa ibu hamil sangat dianjurkan untuk banyak makan-makanan bernutrisi tinggi, sering menjaga vitalitas tubuh dengan yoga atau senam ibu hamil, mendengarkan musik-musik yang lembut nan syahdu, atau bahkan membacakan dongeng untuk si kecil yang masih ada dalam kandungan. Ya... yang paling baik sih membaca Al-Qur'an / minimal sering mendengarkan qiro' / tartil / orang-orang yang mengaji, supaya ketika besar makin cinta sama Allah SWT :)

Oke, berhubung sekarang kita udah gede, udah nggak digendong kemana-mana... Kita harus sadar diri dan secara mandiri menuntut ilmu. (Kalau bisa nggak usah pakai acara diomelin ibu dulu baru mau belajar, dll.) Menuntut ilmu itu banyak ragamnya juga loh...
Contohnya : 
  • menuntut ilmu dengan pergi ke sekolah
  • pergi les privat ke guru atau bimbingan belajar yang saya pikir sudah banyak tersebar
  • membaca buku, atau mungkin browsing artikel di internet (berhubung sekarang eranya globalisasi, tekhnologi maju, dimana semuanya sudah serba canggih. hehe.)
Ada banyak hadist yang menerangkan betapa Allah mencintai orang-orang yang gemar menuntut ilmu karena lillahi ta'ala. Allah sudah menjanjikan banyak hal, dan secara singkat saya tulis sebagai berikut ini :
  • Di tempatkan di surga, dimana akan dimudahkan ketika masuk dengan melewati pintu khusus yang sudah dipersiapkan Allah. (ibarat tamu kehormatan, gitu... ^v^)
  • Ditinggikan derajatnya baik di dunia maupun di akhirat
  • Dimudahkan mencari rezeki yang halal
  • Jika meninggal dalam keadaan sedang menuntut ilmu, maka meninggalnya digolongkan ke dalam mati syahid.
  • Bahkan malaikat akan mengembangkan sayapnya, serta ikan-ikan di laut akan mendo'akannya.
Coba lihat dan amati... Kurang apa coba? Allah dengan gamblangnya menunjukkan pada kita banyak kebaikan hanya dengan menuntut ilmu. Belum lagi kalau kita berbuat kebaikan sekaligus mengamalkan ilmu yang kita peroleh dengan ikhlas, dan niat untuk Allah ta'ala. Wuiiih~ Inshaallah dijamin surga. Amin... ^w^

Saking cintanya Allah tadi, Allah bahkan membedakan antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu. Dapat di lihat dalam firmanNya :

أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ 

     "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran."
(Q.S. Az-Zumar : 9)


Allah bahkan mencela orang-orang yang tidak berilmu.
Allah berfirman :

وَلَوْ أَنَّنَا نَزَّلْنَا إِلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةَ وَكَلَّمَهُمُ الْمَوْتَىٰ وَحَشَرْنَا عَلَيْهِمْ كُلَّ شَيْءٍ قُبُلًا مَا كَانُوا لِيُؤْمِنُوا إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ يَجْهَلُونَ

     "Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka, niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui."

(Q.S. Al-An'am : 111)

 -.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-

Jadi, sementara itu dulu yang bisa saya ulaskan.
... INGAT! Ilmu itu sangat utama untuk dicari. (Duh, maaf kalau kosakatanya mulai amburadul) Oke, intinya ilmu itu sangat penting dan wajib hukumnya untuk dituntut, selama kita masih bernyawa... selama nyawa masih dikandung badan.

Itulah... sudah, sudah, nanti kepanjangan. Kalau ada lagi ya... saya sambung di episode depan yah? (emang sinetron?). Terimakasih banyak ya sudah mau membaca postingan yang jujur saja amburadul ini.

Jazakumullahu Khairan, dan semoga kita selaku umat Muslim selalu dibimbing menuju jalan yang benar. Amin ya robbal 'alamin.

Akhirul kata, billahi taufik walhidayah, wa ridho wa inayah...
Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatu... (hayo, yang nggak jawab dosa!)

 

Minggu, 16 Maret 2014

Half Clown

Tittle   : Half Clown
Genre : psychological, idk --"
Copyright :
Aku membuat cerita ini dengan ide cerita yang susah payah kudapat. Bukan cerita yang special memang, tapi untuk menuliskan kata-kata yang membuat pembaca bahagia adalah tantangan untukku. This is my work, my story, my piece of mind, so please don't steal it no matter what.
Inspired by song (nonsense speaker)

"Hey, Elise! Tahu tidak kalau hari ini aku akan mengikuti..."
Dan bla bla bla seterusnya. Itu yang selalu kudengar setiap hari, tanpa terkecuali.
Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku bahkan sudah muak dengan semua yang kalian lakukan. Tak bisakah kalian biarkan aku sendiri?
Kumohon...
Tapi permohonan seperti itu adalah sia-sia. Mereka tidak akan membiarkanku sendiri, sekeras apapun aku mencoba.


Aku memandang secarik poster di papan pengumuman. Sebuah olimpiade tentang bahasa inggris. Aku belum pernah tahu tentang olimpiade serupa. Mungkin ada baiknya aku mencoba untuk ikut.
"Hey, Elise!" Sapa seseorang yang tak lain adalah Marry. "Apa ini? Lomba bahasa inggris? Ah, mendadak aku ingin mengikutinya!"
Dia lagi. Marry selalu menghampiriku yang sedang mengamati sesuatu. "Kau bisa mengikutinya kalau kau mau. Lagipula ini untuk umum." Balasku.
"Kau benar! Peluangnya pasti besar!"
Tolong jangan membicarakan peluang di depanku. Aku membenci itu. Tidak, aku bahkan membenci semua yang akan kau katakan setelah ini atau mungkin sebelumnya. Aku bahkan sedang tidak ingin di sampingmu. Bisakah kau pergi?
"Hey, mau kemana?" Tanya Marry.
Tidak berguna. "Ke suatu tempat." Jawabku. Dia pasti mengikutiku. Lalu pertunjukan di mulai...
"Tahu tidak, di rumah tadi sebelum berangkat, aku..."
Lebih tepatnya cerita pun di mulai. Hey, bolehkah aku menyumbat telingaku? Aku tidak ingin otakku menjadi ensiklopedia dari riwayat hidupmu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak ingin menyakiti seseorang. Lagipula, aku tidak yakin kau akan mau mengerti jikapun aku menjelaskannya. Bukankah kau selalu begitu? Menganggap kata-kataku tidak terlalu penting, entah kau sadar ataupun tidak.
"Apa kau marah padaku? Biasanya kau selalu tersenyum. Ah, aku benci ketika mood kamu seperti itu. Kau selalu seperti itu!" Ucap Marry.
Selalu seperti itu? Lucu sekali.
"Tidak, tidak. Aku hanya sedang sariawan. Terlalu sering tersenyum membuatnya jadi perih." Balasku seenaknya.


Keadaan di rumah tidak jauh berbeda, malah jauh lebih buruk. Namun meski begitu, aku lebih suka berada di sini sebab dengan begitu aku bisa mengunci diri.
"Ibu, Ayah, aku pulang!" Ucapku.
Tak ada suara, tak ada apa-apa. Seperti yang kuduga, di rumah tidak ada orang. Atau mungkin mereka memutuskan untuk pergi? Oh, kapan mereka pergi? Akhirnya mereka pergi juga, eh? Bukan kejutan.
"Tak ada buruknya." Gumamku.
Aku pergi ke kamar. Menyumbat telinga dengan headset, lalu memutar mp3 hingga tertidur. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Tidak ada yang lain.
Tuhan, kumohon...
Meski hanya sesaat, meski hanya lewat mimpi, tolong bawa aku pergi.
Tuhan sangat baik, Ia mendengar do'aku. Ia membawaku pergi ke dunia mimpi yang indah. Tempat yang sangat ingin kutinggali. Tapi sayangnya itu tidak berlangsung lama.
Suara keras pintu yang seperti didobrak itu membangunkanku. Dengan berat hati, aku keluar dari kamar untuk melihat siapa itu.
"Ibu kau sudah..."
"Diam! Masuk ke kamarmu dan lakukan apapun yang kau mau!" Makinya.
Oh, itu cara yang kasar. Kalau kau tidak suka kusambut, baiklah, tak apa. Katakan saja, dengan begitu mungkin aku tak perlu menyambutmu lagi jika benar itu yang kau harapkan.
"Aku akan di kamar jika kau butuh." Kataku kemudian, sambil menutup pintu.
Jika kau butuh.
Bukankah itu kata sederhana yang sebenarnya menyakitkan?
Tak lama setelahnya, dobrakan pintu kedua terdengar. Itu pasti ayah, terdengar sangat jelas.
"Pertunjukan di mulai." Kataku pelan.
Ayah dan ibuku bertengkar lagi. Mereka selalu bertengkar. Ada banyak hal yang mereka pertengkarkan. Terlalu banyak, hingga aku tak ingin membahasnya sekalipun. Walau kadangkala aku penasaran apakah mereka sadar bahwa aku ada di sini, mendengar semua yang mereka pertengkarkan, menjadi saksi bisu atas segala pertikaian. Sejujurnya jika mau, mereka bisa bercerai, membuangku, menelantarkanku dimanapun dan kapanpun. Tapi, kenapa mereka menahanku di sini? Jika diminta untuk pergi, dengan senang hati aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi di rumah ini. Jadi kenapa aku ditawan di sini? Aku lelah. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku lelah menjadi saksi bisu atas semua yang orang-orang lakukan. Aku lelah menjadi semua itu, aku lelah untuk berpura-pura aku tidak ada, aku lelah untuk marah, bahkan aku terlalu lelah untuk menangis. Sungguh aku sudah lelah.
Sebagai pelarianku dari kenyataan, aku selalu pergi mengunjungi khayalanku. Aku menulis semua cerita khayalan itu, bahkan membuat beberapa gambar, dan merancang sendiri sampulnya. Jika ini bisa membuatku merasa lebih baik, kenapa tidak?
Toh.. ini lebih baik daripada mengumbar aib pada buku harian. Lebih baik daripada mengoceh tak karuan lewat surel, blog atau.. entahlah. Masa bodoh dengan semua itu.
Betapa menyedihkan.



Di sekolah...

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menganggap dunia ini tidak adil.

"Maaf Nak, quota untuk sekolah kita sudah habis dan pendaftaran ditutup kemarin." Jelas ibu guru
"Oh, tidak apa-apa, ibu. Hahaha, salah saya karena sangat lambat."
Olimpiade yang selalu ingin kuikuti, lagi-lagi gagal kuikuti. Tuhan, katakan padaku kalau memang bukan ini jalan yang harus kutempuh. Tolong katakan bahwa aku masih punya kesempatan. Katakan bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya itu akan menghiburku.
Aku menggambar senyum di jariku. Berpura-pura bahwa itu Elsie, salah satu tokoh dalam duniaku yang lain. Dunia khayalan. Dialah yang jadi penghibur untukku sejauh ini. Mungkin satu-satunya teman yang kumiliki dan yang kubutuhkan selama ini.
Jangan khawatir Elise. Aku akan menemanimu selalu. Tak perlu khawatir. Kalau waktunya datang, kesempatan yang sama pasti datang.
Sebut aku gila, karena mungkin aku memang sudah mulai kehilangan kewarasanku.
"Elise!" Panggil Marry yang mendadak muncul entah darimana. "Aku jadi ikut olimpiade yang kemarin." Lalu bla bla bla, seperti itu lagi.
"Bersama Nadia." Ucapnya.
Apa?
"Agak menyebalkan sih kalau dia ikut. Tapi daripada quotanya tidak penuh, jadi aku mengajaknya. Hehehe. Akui saja aku memang sangat pandai membujuk orang."
Kau memilih mendaftarkan Nadia yang sebenarnya tidak begitu tertarik? Jadi begitu.
Selalu membanggakan diri dan.. kau sudah seperti mengambil alih hidupku yang sudah nyaris tak berharga ini. Bagus. Sejauh inikah kau ingin menunjukkan betapa tidak bergunanya aku? Aku paham.
Tapi untuk menyembunyikan semuanya, aku tersenyum lebar. Berpura-pura untuk menjadi seperti orang gila, atau orang gila yang mengaku tidak gila. Yang manapun itu.
"Hahahaha..."
"Elise, apa yang kau tertawakan?" Tanya Marry.
Huh? Aku tertawa?
"M-maaf, mendadak aku teringat film komedi yang kutonton kemarin malam."
"Dasar kau..."
"Jadi, Marry, aku akan pulang lebih dulu. Sampai nanti."


Elise...
"Elsie?"
Kenapa kau melarikan diri?
"Aku tidak melarikan diri. Aku hanya menyadari tempatku, dan pergi."
Pembohong
"Oh ya, aku memang pembohong. Aku hanya pembohong yang kini menjadi seorang badut. Karena tidak ada yang kulakukan selain tersenyum dan tertawa."
Semua akan baik-baik saja.
"Elsie, ingin sekali aku ikut ke duniamu. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama. Mungkin bercengkerama bersamamu, teman-temanmu, dan keluargamu. Hahahaha... aku ingin tahu bagaimana mereka akan berpikir tentangku. Mungkin payah, bodoh, atau tidak berguna? Haha.."
Elise, hentikan.
"Maaf, aku tidak bisa berhenti. Hahahaha... sangat aneh, sangat aneh.. hahahaha!"
Elise sadarlah..
Elise hentikan!
Elise! Elise!
Erh..
"Apa yang kau lakukan, Elise? Cepat bangun! Ini sudah waktunya sarapan, bodoh! Harusnya kau sudah menyiapkan sarapan! Kenapa kau ini." Bentak Ibu.
Ternyata mimpi. Padahal akhirnya aku bisa berbicara banyak dengan Elsie. Dengannya yang terlihat seperti manusia sungguhan, bukan.. bukan seperti mereka, iya kan Elsie?
Aku menganggukkan kepalaku. Kemudian tersenyum tanpa kusadari.
Tiba-tiba, Plak!
Ibu menamparku dengan kerasnya. Oh, sepertinya kali ini akan meninggalkan bekas.
"Apa yang kau lamunkan, ha? Cepat pergi ke ruang makan, sekarang!" Perintah ibu yang kemudian berbalik memunggungiku.
"Hahaha, iya, ibu. Maafkan kebodohanku." Jawabku.
Ibu sempat memandangiku sinis sebelum meninggalkanku.
Dunia yang aneh. Mungkin Tuhan hanya terlalu baik. Satu dari sekian banyak jiwa yang ada, dan aku yang dipilih untuk tinggal di tempat ini. Maafkan aku, Tuhan tapi sepertinya aku hanya kurang baik.
Aku keluar dari ruang pengasinganku. Berbenah diri, lalu memasakkan sesuatu untuk orangtuaku.
"Makanan sudah siap!" Ucapku begitu selesai menyiapkan makanan. "Ibu, aku..."
"Pergi saja! Tak usah pamit segala. Lagipula kau sudah tidak dibutuhkan di sini." Maki Ibu.
Padahal bukan itu yang kumaksud.
Aku mengangguk, lalu tersenyum. Kemudian menengok ke ayah. Barangkali dia akan...
"Cepatlah pergi, dasar anak tidak berguna." Ucapnya penuh kebencian.
Ouh, aku salah...
Sepertinya mereka tidak ingin aku di dekatnya lagi.
Sama seperti biasa, ayah dan ibu memberiku sepuluh ribu yen masing-masing, untukku pergi bermain di luar sampai petang. Hahaha... mereka hanya tidak ingin diganggu. Pekerjaan mereka pasti berat sekali.
"Terimakasih, aku pergi."


Aku berjalan gontai menuju mini-market langgananku yang letaknya di seberang. Itu artinya aku harus melewati jembatan itu.
Ah, fisikku agaknya mulai melemah, di tambah perut yang terus meronta-ronta.. rasanya sangat.. entahlah. Aku tidak tahu, dan aku kembali tertawa kecil.
Aku memang belum makan apapun sejak dua hari yang lalu, selain dua mie instant. Mungkin selama ini aku terlalu banyak makan mie? Hahaha, sudahlah, yang penting makan. Lagipula ayah dan ibu enggan makan bersamaku.
Keduanya pasti cepat pergi ketika selesai, seolah mereka hanya singgah di warung kecil untuk makan saja. Tidak lebih. aku sendiri jarang berkesempatan memakan masakanku sendiri. terdengar konyol memang.
Persediaan makanan hanya cukup untuk ayah dan ibu, dan mereka jarang pulang sehingga aku tidak punya uang. Mini-market langgananku itu sebenarnya juga tempatku bekerja paruh waktu. Tapi begitu ayah mengetahuinya, aku terpaksa harus berhenti. Katanya tidak pantas orang sepertiku bekerja sambilan. Tidak berguna, bodoh, payah, dan menyusahkan. Membuat malu nama keluarga. Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mendebat ayahku.
"Elsie, kenapa perjalan ke mini-market mendadak begitu sulit seperti ini?"
Bertahanlah Elise. Tak apa, aku selalu di sampingmu. Jangan khawatir. Nanti setelah sampai di sana, sebaiknya kau membeli sesuatu untuk dimakan.
Kuharap begitu. Tapi aku mendapat firasat buruk. Sepertinya aku tidak akan sampai ke tempat manapun.
Firasatku benar. Seseorang yang mengendarai sepeda motor mencuri tasku dengan paksa. Membuat fisikku yang lemah ini semakin tak bisa menjaga keseimbangan, dan akhirnya jatuh ke sungai yang kebetulan alirannya cukup deras.
Arus membawaku pergi. Di tambah tubuhku yang terasa begitu lemah, aku bahkan tidak punya kekuatan untuk menepi.
Elise! Elise!
"Jangan khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, tenang."
Tapi kau bisa mati!
"Bukankah sejak awal aku tidak pernah ada? Tidak dianggap, lebih tepatnya."
Elise!
Kau bahkan hanya sebuah khayalan, Elsie. Khayalan dari diriku yang menyedihkan ini. Meski begitu, entah kenapa aku merasa cukup bahagia.
"Hey, kalau aku bisa ke duniamu, ayo kita main?"
Aku memandang sosok khayalanku, Elsie, di atas jembatan. Setelah kupikir-pikir, sosoknya hampir menyerupaiku. Sosoknya semakin lama semakin kabur dan menjauh.
Sial, kesadaranku mulai berkurang.
Tubuhku hanyut bersama arus sungai kecil ini. Meski begitu aku masih saja tersenyum dan tertawa seolah tidak ada yang terjadi. Ah ya, benar...
Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
Kemudian setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku memejamkan mata. Biarlah arus membawaku pergi, hilang dari muka bumi.