Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Sounds of Harmony

Maybe for once in a while you have to pay attention, even to the very simple thing in your life. Try to listen to the words that have to be listened. Maybe one day, You'll find that sound of harmony.

Power of Faith

Hope is something that easy to get, but hard to be held. If you never give up on your hope, it's not just people will acknowledge you but also God will rewarded you. There is nothing wrong about having Faith. Instead, having no faith is something like a lost man in nowhere. Don't you think?

Reason of Dream

Dream is like a whole empty sheat you have to fulfill so you can take your score and your star. Then your effort would be like a pen to help you fulfill your sheat. After that you'll realize "the all written sheat is actually the story of your life."

Taste of Life

"Love, Laugh, and Sincere," are always being the best feelings in life. But not to forget that "Hurt, Tears, and Regret" are always be the most precious thing which can teach you how to taste both the good and bad favours in your life.

Secret of Mind

If you want to be desperate, Just say "I am Useless!" and your spirit will be gone in no time. But if you REALLY want to be better, NEVER say such thing. Just say "I'm good enough, cos I am ME. No one can change." remember that God create you because of some reasons, some mission, something means you're NOT USELESS AT ALL. You have to find it on your own.

Jumat, 03 April 2015

Contoh Text Drama

Contoh Text Drama Agama
Tema : Fathonah (Cerdas) : Dalam Menghadapi Masalah

SCENE 1
            Sekali lagi sebuah piala bertuliskan Juara 1 di bawahnya telah Dita sumbangkan ke sekolah. Prestasinya seolah semakin membaik, kendatipun kini ia sudah duduk di bangku kelas 12. Membuat semua teman-temannya semakin berdecak kagum, termasuk Cecil yang merupakan sahabat baiknya sejak SMP.
(saat memasuki kelas)
Cecil                : “Wah, Dit, lama-lama sekolah bisa jadi museum penghargaan kalau begini!”
Dita                 : “Heh? Kok bisa?”
Cecil                : “Ya, bisa. Habisnya lemari sekolah isinya full piala-piala dari kamu.” (duduk di bangkunya sambil cengengesan) “Jadi heran, kok bisa ya ada siswa yang super jenius kayak kamu.”
Dita                 : “Haha, jenius apanya, Cil? Itu kan cuma piala. Kalau tiba-tiba aku bisa menemukan rumus baru matematika atau fisika atau kimia, baru deh kamu boleh panggil aku jenius. Hehe.”
Cecil                : “Dih.” (memandang dengan tatapan setengah tak percaya) “Oke, fix! Kamu cocok kok jadi cucu Einstein.”
Dita                 : “Cucu Einstein dari hongkong? Ada-ada saja kamu ini. Lagipula, aku yakin nanti pasti kamu juga bisa menyumbangkan piala kamu sendiri, kok. Yang penting kamu harus tekuni bidangmu dan belajar yang rajin.”
Cecil                : “Halah, halah, piala darimana? Dapat nilai 85 aja udah paling mentok. Yah, sepertinya saya forever ngenes yak?
Dita                 : “Heeh... (menepuk bahu Cecil) Ucapan itu do’a loh. Kalau kejadian beneran bukan salahku loh ya. Itu kan do’amu.”
Cecil                : “Ih, naudzubilah!” (mengetuk-ngetukkan tangan ke meja) “Oh ya, Dit!” (tersadar) “Hari ini kan waktunya Fisika, tolong ajarin aku ya. Aku nggak paham soal torsi dan inersi.”
Dita                 : “Oke.”
           
            Sementara Cecil dan Dita sedang belajar Fisika, di bangku paling belakang, Roni, Brian, dan Satria sedang asyik bercanda ria sambil memutar musik dengan volume keras. Ketiganya terus bercanda dengan suara keras, tanpa mempedulikan teman-teman yang lain yang sedang belajar.
            Awalnya Cecil tidak keberatan, tapi lama-lama ia merasa muak juga. Suara musik yang keras itu membuat konsentrasi Cecil pecah. Akibatnya, ia tidak bisa menangkap semua penjelasan Dita.
Cecil                : (setengah berteriak) “Oi! Matiin musiknya! Ganggu belajar, tahu nggak?”
Roni                 : “Apa?!” (meledek) “Eh, Bro, kayaknya ada orang ngomong tadi. Kamu denger nggak?”
Brian               : (melirik sejenak sambil sibuk main laptop) “Setan lewat kali.”
Roni                 : “Kalo lu, Sat? Denger sesuatu?”
Satria               : “Enggak.” (sambil ngegame) “Kerasin dikit gih, musiknya. Nggak seru.”
Roni                 : “Oke, oke.”
Cecil                : “Wooyy!!! Ini ada orang lagi belajar! Kecilin dikit kenapa sih?”
Dita                 : “Ssst... Cecil! Udah, biarin aja mereka.”
Cecil                : “Hah, biarin? Orang kayak gitu?” (kaget) “Emang kamu nggak keganggu sama musik yang bising nggak mutu kayak gitu?”
Dita                 : “Keganggu sih, tapi...”
Satria               : “Noh, si Jenius aja biasa aja. Kok lu enggak?”
Cecil                : “He? Kamu ngatain aku nggak pinter gitu?”
Satria               : “Enggak sih.” (acuh tak acuh)
Brian               : “Bukannya kamu sendiri ya yang ngaku?” (masih berkutat pada laptopnya)
Cecil                : “Astaghfirullahal’adzim! Ini anak... Gini-gini ”
Dita                 : “Cil, udah. Udah, jangan diterusin. Nggak penting.”
Brian               : “Nah, itu tahu. Kenapa masih diladenin?”
Roni                 : “Gitu katanya mau jadi Cucu Einstein? Wes... wes...” (tertawa meledek)
Cecil                : (ngomel ke Dita)

            Beberapa saat kemudian, tiba-tiba Bu Fira yang tak lain adalah guru mata pelajaran __________ pun masuk ke kelas.
Bu Fira             : “Pagi, semua.”
Murid-murid   : “Pagi, Bu!”
Bu Fira             : (tersenyum) “Tumben kok semangat sekali.”
Roni                 : (ndumel) “Semangat salah, enggak juga salah. Ckckck, gimana sih, bu?!.”
Bu Fira             : “Ya, bukan begitu maksudnya.”
           
            Roni, Brian, dan Satria di belakang terus bersenda gurau di bangku paling belakang. Rupanya mereka bertiga ini tidak merasa sungkan untuk melakukan hal-hal yang sering membuat orang lain kesal, kendati itu gurunya sendiri. Namun beruntunglah kali ini guru yang mengajar adalah Bu Fira, guru baik hati yang murah senyum.

Bu Fira             : (menulis sesuatu di papan) “Ayo, anak-anak, siapa yang bisa menjelaskan apa yang saya tulis di papan ini?”
Roni                 : “Saya, bu. Saya tahu!”
Bu Fira             : “Ah, ya, Roni. Tumben sekali.” (tersenyum) “Jadi, kamu tahu?”
Roni                 : “Iya, bu. Saya tahu kalau saya tidak tahu jawabnya.”
Brian dan Satria : (tertawa)
Bu Fira             : “Ya sudah, ada yang lain?”
Dita                 : “Saya bisa, bu!”
Bu Fira             : “Baiklah, Nak Dita, silakan maju dan menerangkan.”
Dita                 : “Baik bu.” (bangkit dari tempat duduk)
            Selesai menerangkan, Dita kembali dipersilakan duduk. Diiringi dengan tepuk tangan yang menggema dari siswa-siswi yang lain.
Brian               : “Gitu aja pakai tepuk tangan.”
Satria               : “Berasa artis kali? Hahaha...”
Roni                 : “Betul tuh. Jangan-jangan nanti malah sombong.”
Cecil                : “Kalian bertiga bisa diam enggak?!”
Satria               : “Kalau enggak kenapa?”
Cecil                : (kesal) “Kalau enggak ya keluar sana! Nggak usah di kelas, merusak pemandangan kelas. Tahu enggak?!”
Brian               : “Sukurin lu Bro, dimarahin.” (meledek)
Roni                 : “Ciaat... cantik-cantik galak nih ye.” (tertawa bersama Brian dan Satria)
Cecil                : (semakin kesal)
Bu Fira             : (menengahi) “Sudah, sudah. Bercandanya nanti lagi, sekarang waktunya pelajaran. Bagaimana, Cecil?”
Cecil                : “Iya, Bu. Maaf.”
            Pelajaran pun kembali dilanjutkan. Di kelas, Roni, Brian, dan Satria masih sempat membuat onar di kelas. Namun berhubung Bu Fira sendiri sudah kewalahan untuk menasehati mereka, akhirnya beliau memutuskan untuk membiarkannya saja.

SCENE 2
            Jam pelajaran berganti. Dimana kali ini waktunya pelajaran Bu Rena, pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran yang tidak begitu disukai semua murid karena dianggap membosankan.
            Saat hendak ke kelas XII____, Bu Rena sempat berpapasan dengan Bu Fira. Beliau tampak lesu sekali, membuat Bu Rena penasaran.
Bu Rena           : “Ada apa, bu? Habis mengajar kok tampak lesu begitu?”
Bu Fira             : “Iya ini bu, saya merasa pusing dan kewalahan sendiri kalau disuruh mengajar di kelas XII____. Susah diajari.”
Bu Rena           : “Loh, bukannya kelas XII____ muridnya pintar-pintar dan menurut tho bu?”
Bu Fira             : (menghela nafas) “Menurut apanya loh bu, bikin onar iya. Ituloh, tiga anak yang suka duduk di belakang itu. Jadi pusing gimana harus menasehati mereka. Mau dimarahin juga nggak tega.”
Bu Rena           : (tertawa segan) “Iya sih, bu. Tapi kayaknya dimarahin saja juga nggak mempan, bu, soalnya dulu pernah saya tegur tapi ya cuma kapok sambal begitu.”
Bu Fira             : “Ya sudahlah, bu. Mau bagaimana lagi?” (tersenyum) “Oh ya, saya permisi dulu, bu, mau ke kelas XII____”
Bu Rena           : “Iya, bu, mari-mari...”

Saat di kelas...
Bu Rena           : “Good morning, student?”
Murid-murid   : “Morning, ma’am!”
Bu Rena           : “Today, we will learn about...”
Roni                 : (menyela) “Bu! Bu!”
Bu Rena           : “Iya, ada apa, Roni?”
Roni                 : “Nggak punya jam ya di rumah? Masa jam segini dibilang good morning?”
Murid-murid   : (tertawa)
Brian               : “Hush! Jangan gitu, nggak sopan.”
  “Maklum, guru itu kan orang berilmu yang usianya udah nggak muda. Barangkali dia mendadak pikun.” (kalem)
Bu Rena           : (menghela nafas) “Jadi gini anak-anak.. Kalau di barat itu, good morning itu digunakan dari kamu bangun tidur jam 5 sampai kira-kira paling siang itu jam 11. Jadi, kita masih pakai good morning.”
Satria               : “Masa sih, bu? Tapi Indonesia kan Asia Tenggara, sejak kapan jadi negara barat, bu?”
Cecil                : “Udah, bu. Mereka itu jangan ditanggepin. Lanjutin aja. Nanggepin mereka itu kayak nanggepin anak TK.”
Roni                 : “Ck, sewot.”
Cecil                : “Daripada lu... NGGAK PEN-TING!”
Roni                 : “Mending nggak penting daripada nggak ada hubungannya.”
Cecil                : “Terus kenapa? Hak-hak siapa yang komen siapa?”
Dita                 : “Udah, udah.. kalian ini kenapa sih bertengkar terus? Udah bu, lanjutin aja pelajarannya. Biarin aja mereka.”
Bu Rena           : “Hmph... Now, student, about our material today...”
            Bu Rena kembali melanjutkan pelajarannya. Dimana murid-murid yang lain pun memperhatikan, sambil mencatat apa yang Bu Rena tulis di papan.
Bu Rena           : “Sampai disini ada yang belum paham?”
R+B+S              : (angkat tangan)
Bu Rena           : “Baiklah, mana yang belum paham?”
R+B+S              : (serempak) “Semuanya bu!”
            Sedikit merasa tak habis pikir, Bu Rena kembali mengulang penjelasannya. Namun  sepertinya ketiganya belum paham juga. Sehingga, Bu Rena mengulang penjelasannya, kali ini dengan lebih pelan dan detail. Lalu, bukannya memperhatikan penjelasan dari Bu Rena, ketiga anak tadi malah sibuk bermain hp.
Bu Rena           : “Aduh, kalian ini katanya belum paham, kok malah main hp sendiri kalau diterangkan. Niat belajar atau tidak kalian itu?”
Satria               : “Niat sih, bu. Tapi...”
(bel istirahat berbunyi)
Satria               : “Nah, istirahat bu.”
Bu Rena           : (geleng-geleng kepala) “Ya sudah, pertemuan hari ini saya akhiri. Untuk trio anak di belakang, saya beri kalian tugas mencari contoh dari materi yang kalian pelajari hari ini minimal 25 contoh.”
Brian               : “Hah, 25? Yang bener aja, bu?” (mendengus) “Kejam sekali?”
Bu Rena           : “Kebanyakan ya? Ya sudah, saya kurangi jadi 50. Tidak lebih, tidak kurang. See you next time, anak-anak. Selamat istirahat.” (keluar dari kelas)
Dita                 : “Makanya, kalau diterangkan sama guru itu diperhatikan.”
 (Skip)

(Di ruang guru)
Semua guru-guru tampak sibuk dengan berbagai tugas mereka. Termasuk Bu Fira dan Bu Rena yang tampak serius mengobrol masalah Roni, Brian, dan Satria.
Bu Fira             : “Gimana bu tadi pas pembelajaran?”
Bu Rena           : “Haduh, Bu. Gimana ya? Sepertinya mengajari tiga anak itu susah deh, bu.”
Bu Fira             : “Sama, Bu. Pas jam saya juga begitu. Tapi sebenarnya menurut saya bukannya mereka kurang pandai atau bagaimana bu, hanya saja susah sekali membuat mereka mau belajar memperhatikan.”
Bu Rena           : (mengangguk setuju) “Iya, bu. Di kelas tadi mereka malah main hp.” (menghela nafas) “Saya jadi khawatir, gimana nasib mereka kalau sudah UN nanti?”
Bu Fira             : “Iya juga sih, bu.” (tampak berpikir) “Coba ada solusi yang bagus.”
(Skip)

                        Karena prihatin dengan kondisi Roni, Brian, dan Satria, Bu Fira dan Bu Rena pun sepakat untuk membantu mereka untuk mencarikan solusi. Awalnya, mereka sempat berdiskusi dengan guru-guru yang lain. Namun karena banyak guru-guru yang lain yang juga merasa kewalahan dengan sikap mereka, pada akhirnya Bu Fira dan Bu Rena membahas masalah ini dengan Ibu Kepala Sekolah.
Bu Fira             : “Jadi begitu, Bu, ceritanya.”
Kepsek             : “Sudah diskusikan ini dengan Tim Kesiswaan, Bu?”
Bu Fira             : “Sudah. Kami sudah diskusikan ini dengan semua guru yang pernah mengajar di kelas tersebut.”
Kepsek             : “Siswa seperti ini berarti harus diberi ketegasan, Bu. Tidak bisa dengan cara yang lunak.”
Bu Rena           : “Sudah, kami sudah beberapa kali bersikap tegas. Tapi saya rasa di satu sisi itu belum cukup untuk membantu mereka menjadi lebih baik. Kalau hanya sikap, mungkin dua/tiga hari pasti bisa berubah. Namun yang kami khawatirkan disini adalah proses belajarnya, bu. Mereka itu seperti ogah-ogahan dalam menerima pelajaran.”
Bu Fira             : “Betul, Bu. Kalau menurut saya, permasalahan disini itu bukan karena mereka tidak bisa. Saya yakin sekali, mereka ini sebenarnya mampu, tapi sayangnya mereka tidak mau berusaha.”
Kepsek             : “Iya, ya, padahal sebentar lagi kelas XII akan menghadapi UN. Jika tidak bisa mencapai nilai standar, mereka tidak akan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.”

Ketiganya tampak berpikir keras mencarikan solusi untuk ketiga anak didiknya tersebut. Setelah cukup lama berpikir, dan berdiskusi, akhirnya ketiganya menarik kesimpulan bahwa solusi terbaik untuk saat ini mungkin adalah dengan adanya belajar berkelompok dengan teman sebaya.

Kepsek             : “Tutor sebaya bisa jadi solusi terbaik untuk saat ini, karena teman sebaya selain lebih mudah berkomunikasi, juga lebih dapat mengerti kondisi dari temannya sendiri. Barangkali seperti itu, ada yang keberatan?”
Bu Rena           : “Tidak, saya rasa itu ide yang bagus.”
Bu Fira             : “Tapi menurut Ibu, siapa kira-kira yang bisa menjadi tutor sebaya mereka?”
Kepsek             : (tampak berpikir sejenak) “Oh ya, bukannya Dita Anggraini, anak yang sangat cerdas itu juga murid kelas XII______ ?
Bu Rena           : “Iya betul. Tidak hanya cerdas, dia termasuk anak yang sopan.”
Kepsek             : “Nah, itu dia. Saya rasa tugas seperti ini cocok untuknya. Besok saya akan diskusikan ini dengannya.”
(Skip)
SCENE 3
Keesokan harinya, Ibu Pratiwi selaku Kepsek menepati kata-katanya. Beliau memanggil Dita untuk menghadap di kantornya.
Kepsek             : (menjelaskan situasinya)
Dita                 : “Saya? Kenapa saya, bu?”
Kepsek             : “Ini keputusan terbaik yang sudah disetujui oleh semua guru. Jadi, kamu minta bantuanmu ya, nak, ya?”
Dita                 : “Baik, Bu.”
Kepsek             : “Tapi satu hal, jangan terlalu mengumbar masalah ini ke teman-temanmu yang lain. Kasihan Roni, Brian, dan Satria. Takutnya mereka malah merasa semakin berbeda dan akhirnya tidak mau belajar.”
Dita                 : “Iya, Bu. Insyaallah saya usahakan.”
(Skip)

(Di kelas...)
Cecil                : “Tadi kamu ngapain di ruang kepsek?” (kepo)
Dita                 : “Eng... Aku ceritain, tapi sebagai gantinya bantuin aku ya, Cil?”
Cecil                : “Heh? Bantuin apa?”
Dita                 : “Udah, diam dulu” (menjelaskan apa yang sudah dijelaskan oleh Ibu Kepala Sekolah tadi)
Cecil                : “Dih, dih... ngajarin trio nyebelin itu. O-...” (niatnya mau bilang ogah)
Dita                 : “Please yah? Yah? Please?”
Cecil                : “... O-...kay. Okay.”

            Dita merencanakan untuk memulai tutor sebaya itu hari ini. Jadi, mereka mengajak tiga orang itu untuk belajar bersama tepat setelah bel pulang. Tapi sayangnya, ketiganya malah pulang lebih dulu.
            Tidak menyerah, Dita terus mengajak tiga temannya itu untuk belajar bersama. Pada awalnya, ia terus ditolak dengan berbagai alasan, sampai-sampai Cecil harus beberapa kali dibuat marah oleh mereka.
Cecil                : “Ya udah, kalau tidak mau belajar. Kalau nilai kalian nol ya jangan salahkan siapa-siapa! Nantipun kalau waktunya UN kalian nggak punya bekal, itu salah kalian sendiri. Terus kalau UN kalian jelek dan nggak bisa masuk Universitas yang udah dimimpi-mimpiin itu juga...
Dita                 : “Mereka udah ngerti, nggak usah diterusin.” (tersenyum pada Cecil) “Jadi gimana kalian bertiga? Ini juga demi kebaikan kalian loh.”

            Roni, Brian, dan Satria tampak berpandangan, saling menanyakan bagaimana pendapat masing-masing. Mereka sadar kalau kata-kata Cecil ada benarnya juga. Jadi mereka memutuskan untuk mencoba usul Dita yang tidak lain adalah belajar kelompok dengan tutor sebaya.
Roni                 : “Okelah dicoba dulu.”

            Karena rutinitas lebih baik dari intensitas, mereka memutuskan untuk belajar kelompok sepulang sekolah. Seperti biasa, Cecil yang tanpa disuruh langsung mengkoordinir teman-temannya, dan Dita yang menjadi tutor sebaya.
            Dengan sabar setiap hari Dita mengajari ketiga temannya itu, sementara Cecil hanya membantu semampunya. Namun, ketiganya (Roni, Brian, dan Satria) tidak juga paham meskipun sudah dijelaskan berkali-kali. Tak hanya itu, kebiasaan mereka yang selalu ingin pulang awal membuat mereka cenderung tidak konsen. Spontan, hal itu kadang membuat Dita kesal juga dan mulai berputus asa. Hingga suatu hari ia memutuskan untuk tidak melakukan belajar kelompok seperti yang biasa ia lakukan.
Roni                 : “Loh, hari ini nggak jadi?”
Cecil                : “Enggak.”
Brian               : “Padahal udah susah-susah bawa buku.”
Cecil                : “Ya derita lo.”
Brian               : “Ck.”
Satria               : “Emang kenapa kok nggak jadi?”
Cecil                : “Nggak apa-apa, hari ini Dita ada kegiatan lain jadi nggak bisa.”
Roni                 : “Oh.”
Satria               : “Ya udah, yuk pulang.”
Brian               : (ndumel)
Roni                 : “Ya udah. Thanks ya Cil.”
Cecil                : (mengangguk sambil mengiyakan)
SCENE 4
            Sudah beberapa hari Dita tidak menjadi tutor sebaya untuk ketiga temannya. Barangkali ia masih terlalu muak untuk melakukannya lagi. Hal itu tentu membuat Cecil menjadi khawatir, karena tidak biasanya Dita bersikap seperti itu.
Cecil                : “Kok udah nggak belajar kelompok lagi, Dit?”
Dita                 : “Tahu ah, males.”
Cecil                : “Males? Males?”
Dita                 : “Iya males. Ma-les. Emang nggak boleh kalau mendadak aku jadi males?”
Cecil                : “Ya, itu tergantung alasannya sih. Emang alasanmu apa?”
Dita                 : “Males, karena mereka nggak konsen kalau diajari.” (ngambek)
Cecil                : “Itu aja?”
Dita                 : “Tahu ah! Mungkin aku nggak cocok jadi pengajar. Cocoknya cuma belajar.”
Cecil                : “Haduh, haduh... nggak nyangka kalau hari ini bakal datang.” (menghela nafas panjang)

            Cecil berusaha menghibur Dita sambil terus meyakinkannya untuk melanjutkan belajar kelompoknya itu. Ia mencoba meyakinkan bahwa usaha Dita tidak akan sia-sia. Selain itu, jika Roni, Brian, dan Satria juga bisa lulus dengan nilai baik kan siapa yang ikut senang? Orangtuanya pasti, guru-guru apalagi, tapi bukankah Dita nanti juga ikut senang? Senang karena usahanya ikut terbayar.
Cecil                : “Ayolah... mana cucu Einstein yang hebat itu? Katanya mau meneladani Nabi? Masa cuma gitu aja langsung usahanya berhenti?”
Dita                 : “Hm, iya sih.” (berpikir sejenak)
Cecil                : “Ayo, jangan putus asa, Dit! Katanya orang cerdas selalu punya solusi? Kalau begitu buktikan gimana caranya supaya mereka bertiga bisa makin produktif dan semangat belajarnya.”
Dita                 : “Ah, tahu ah! Pikirin nanti.”
(Skip)
            Saat Bu Fira datang, tiba-tiba beliau membagikan selebaran berisi soal latihan yang harus dikerjakan. Murid-murid tampak kaget bukan main.
Bu Fira             : “Jangan khawatir, anak-anak. Soalnya mudah, kok. Semua yang ada di soal itu saya ambil dari materi-materi sebelumnya. Jadi, tidak sulit selama kalian memperhatikan pelajaran.”
Cecil                : “Iya, bu. Tapi kenapa mendadak? Biasanya enggak.”
Bu Fira             : “Sudah, kerjakan saja.”

Setelah beberapa saat, semua jawab pun dikumpulkan dan dikoreksi saat itu juga. Dimana dari soal latihan yang diberikan Bu Fira tersebut, beliau melihat adanya kemajuan pada diri tiga orang tadi.
Bu Fira             : “Alhamdulillah, selamat untuk kalian bertiga : Roni, Brian, dan Satria. Nilai kalian cukup memuaskan.”
Roni                 : “Nilai kami berapa, Bu?”
Bu Fira             : “Hampir KKM kita. Untungnya ini masih soal latihan, bukan ulangan”
Satria               : “Yah, bu.. Masa nilai mendekati KKM dibilang memuaskan.”
Bu Fira             : “Loh, jangan salah. Biasanya kalian mendapat berapa?”
R/B/S               : “Ng... jauh sih, bu.”
Bu Fira             : “Nah, sekarang nilai kalian hampir KKM. Apakah itu bukan kemajuan?”
                          “Untuk itu, nanti kalian harus belajar lagi yang lebih rajin untuk meningkatkan nilai kalian, supaya tidak perlu ada remidi.”

            Melihat hal itu, Dita sempat merasa bersalah. Ia yakin, bisa saja ketiga temannya itu mendapat nilai yang lebih baik kalau saja beberapa hari terakhir ini ia tidak menghentikan belajar kelompoknya.
Dita                 : (bergumam) “Iya, ya, apa jadinya mereka kalau kubiarkan begitu saja.” (menepuk pundak Cecil) “Eh, Cil, kayaknya kamu ada benarnya. Kalau mereka bertiga kutinggalkan, yang ada mereka kembali jadi anak-anak yang hopeless begitu.”
Cecil                : “Nah, maka dari itu..!”
Dita                 : “Ya sudah, besok sepulang sekolah kita mulai lagi. Aku juga ada ide supaya mereka mau lebih giat untuk belajar.”
Cecil                : “Oh ya? Ide apa?”
Dita                 : “Sudah, kita lihat saja nanti.”
(Skip)

            Besoknya, sepulang sekolah, Dita menepati janjinya untuk memulai kembali belajar kelompok yang dulu ia rintis. Namun kali ini ia memiliki lebih banyak ide dan persiapan untuk lebih bisa memotivasi mereka untuk lebih konsentrasi dalam belajar.
Dita                 : (meletakkan sesuatu di meja) “Tumpukan yang kalian lihat ini adalah soal-soal yang sudah aku siapkan. Mulai sekarang, setiap selesai belajar kelompok, kalian harus mengerjakan soal-soal untuk mengetest kemampuan kalian. Sebelum selesai dengan nilai yang cukup memuaskan, kalian tidak boleh pulang. Setuju?”
Roni                 : “Hah? Serius?”
Dita                 : “Iya.” (dengan nada tenang)  “Tapi sebelum itu, ayo kita ganti suasana belajar kita. Belajar yang terlalu berkutat pada buku pasti membuat kalian suntuk. Jadi, kita bisa belajar di luar, di ruangan lain, sambil dengerin musik atau sambil ngemil.”
Roni                 : “Semua musik, boleh?”
Cecil                : “Bolehnya musik instrumental! Musik yang nggak bising.”
Roni                 : “Yaaahh...”
Satria               : “Bagus, kalau begitu aku ke kantin dulu, mau beli jajan.”
Brian               : “Sat, beliin aku juga!”
Satria               : “Beres. Semua kubeliin.”

            Belajar kelompok kembali dilanjutkan. Hal itu membuat Roni, Brian, dan Satria mendadak menjadi antusias. Mereka antusias tidak hanya suasana belajar mereka yang baru, tapi dengan kembalinya tutor sebaya mereka (Dita), mereka bisa mendapatkan nilai yang lebih baik. Selain itu,dari apa yang dikatakan Bu Fira kemarin, tampak ada harapan untuk mereka bisa lulus dengan baik dan pergi ke Universitas yang diinginkan.
(Skip)

Sementara itu di ruang kepala sekolah...
Kepsek             : “Beberapa kali saya datang untuk memeriksa keadaan mereka, saya lihat mereka cukup antusias dengan adanya tutor sebaya dari Dita. Tapi bagaimana bu dengan nilai akademik mereka?”
Bu Rena           : “Alhamdulillah, bu, ada kemajuan.” (tersenyum senang) “Mereka juga cenderung lebih diam memperhatikan saaat saya terangkan.”
Kepsek             : “Kalau Bu Fira sendiri?”
Bu Fira             : “Iya, bu, sama dengan Bu Rena. Nila mereka juga alhamdulillah naik.”
Kepsek             : “Alhamdulillah kalau begitu.”
                          “Final dari hasil belajar mereka dapat kita lihat di UAS dan UN. Semoga saja tetap sebaik yang diharapkan.”
(skip)