Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Senin, 10 Maret 2014

Waiting to See You!

Tittle   : Waiting to See You!
Genre : real life, friendship, idk --"
Copyright :
Aku membuat cerita ini dengan ide cerita yang susah payah kudapat. Bukan cerita yang special memang, tapi untuk menuliskan kata-kata yang membuat pembaca bahagia adalah tantangan untukku. This is my work, my story, my piece of mind, so please don't steal it no matter what.

Gadis itu selalu terduduk di sana, sendirian di dekat sungai. Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di sana, tapi sudah jelas bahwa ia tengah menunggu seseorang.
"Hey, Sotaru!" Panggil Kemachi, temanku.
"Apa yang kau lakukan di sana? Ayo cepat kita pulang! Aku tidak mau dimarahi ibuku!"
"Baiklah." Jawabku sederhana.
Aku menatap gadis itu untuk beberapa saat. Sepintas ada rasa khawatir ketika hendak meninggalkannya pergi. Tapi toh, setelah kupikir-pikir, kenapa aku harus khawatir? Dia di sana atas kemauannya sendiri, bukan? Lagipula aku pun tidak mengenalnya. Tapi... Argh! Ini membingungkan.
"Mudah-mudahan ia baik-baik saja!" Dengusku.
"Apa? Kau mengatakan sesuatu, Sota?" Tanya Kemachi.
"Tidak. Bukan apa-apa."

Sore berikutnya ia kembali ada di sana. Duduk menghadap sungai, menantikan seseorang yang aku sendiri tidak tahu siapa gerangan yang ia nantikan. Tapi ia tampak kesepian, entah kenapa. Kuharap aku bisa menemaninya.
Meski sedikit gugup, aku menghampirinya. Kuharap ia tidak kaget melihatku. Maksudku, orang aneh mana yang tiba-tiba ingin duduk menemaninya. Ah, benar, orang aneh itu adalah aku.
"Hey, apa aku boleh duduk di sini?" Tanyaku.
Ia hanya mengangguk.
Suasana menjadi begitu hening dan canggung. Aku tidak tahu apa yang harus kuucapkan. Sepertinya ia pun bukan tipikal orang yang mau berbicara banyak.
"Hmm... namaku Sotaru Heiga. Kau bisa memanggilku Sota, kalau kau mau." Ucapku.
Ia hanya diam sambil memandangiku. Lalu beberapa saat kemudian ia berdiri lalu mengambil sebuah ranting kering, kemudian menuliskan namanya di tanah.
Ruka Kyokari
Ruka eh? Nama yang bagus. "Boleh aku memanggilmu Ruka?"
Gadis itu mengangguk. Kemudian menuliskan sesuatu di tanah.
Senang berkenalan denganmu.
Sebenarnya itu adalah cara yang aneh untuk mengobrol. Tapi baiklah, jika itu keinginannya. Aku harus hargai itu.

Sejak saat itu, tanpa sadar aku selalu mengunjunginya. Menyenangkan juga bisa mengenal teman baru. Yah, meskipun metode pembicaraan kami belum berkembang sama sekali.
Pembicaraan kami tidak pernah sepanjang yang kuharapkan. Hanya satu, atau dua kalimat, lalu seterusnya hanyalah diam berkepanjangan.
"Kau tahu, kau selalu seperti itu. Mungkin akan lebih menyenangkan jika kau mau bersuara." Ucapku. Dia hanya menatapku dengan tatapan itu. Tatapan datar yang seolah ia terlalu bosan untuk melakukan sesuatu.
"Meski hanya sepatah kata." Desahku.
Bodohnya aku, kenapa pula aku memintanya begitu. Pasti terdengar seperti orang yang memohon-mohon. Ugh...
Terimakasih...
Sepertinya tadi aku mendengar suara. Tidak mungkin. Tapi mungkinkah?
"Apa kau..."
Gadis itu mengangguk, yang kali ini disertai dengan senyuman manis. Akhirnya! Entah sudah berapa lama aku mengharapkannya.
Sreet..sreett..
Ruka mulai menuliskan sesuatu..
Aku punya misi untukmu, maukah kau melakukannya untukku?
"Tentu saja! Akan kulakukan apapun yang bisa kulakukan untukmu, Ruka!"
Syukurlah
"Jadi, apa misinya?"
Akan ada seorang gadis cantik seusiaku, mampir ke kota ini untuk mencari sesuatu. Kebetulan sesuatu itu ada padaku. Bisa kau antarkan dia kemari?
Sesuatu, eh? Mungkinkah sesuatu itu bersifat penting?
Bodoh sekali aku, tentu saja sesuatu itu penting. Jika tidak, mana mungkin ia akan memberiku misi semacam ini, bukan? Lagipula sangat jarang untuknya meminta bantuanku. Mungkin ini adalah kabar baik? Entahlah. Tapi aku senang ketika ia bisa tersenyum seperti itu.
"Baiklah. Bisakah kau gambarkan padaku seperti apa rupanya?"
Sejujurnya sudah lama aku tidak melihatnya. Aku tidak yakin. Tapi jangan khawatir, kau pasti bisa menemukannya karena ia mirip denganku. Namanya Rika.
Kembar?!
Dugaanmu benar. Kami kembar.
Heh? Apa tanpa sadar aku mengatakannya dengan lantang?
Oh bukan. Dari susunan katanya, itu tadi hanya sebuah asumsi.

Keesokan hari, kebetulan sekolahku libur jadi aku memutuskan untuk bermain ke rumah Kemachi. Sudah cukup lama aku tidak kesana, apa dia punya video games baru yang bisa kumainkan?
Sampai di rumahnya, aku melihat satu rak penuh berisi dvd permainan yang baru.
"Beginikah rasanya jadi anak dari seorang jutawan?" Gumamku
"Yosh, Sota! Kutantang kau untuk berduel denganku. Kalau kau menang, akan kuberikan kau 4 video games dari rak itu. Bagaimana?"
Tawaran yang menarik. "Aku menolak."
Kemachi tampak sedikit terkejut. "Hey, apa kau ini bodoh?" Ketusku. "Aku tidak punya peralatan mahal seperti ini di rumahku. Lagipula tidak mungkin ayah mengizinkanku untuk beli."
"Oh ya, kau benar. Maaf." Balasnya sedikit tertunduk.
"Sudahlah, ayo kita main!"
Kami pun bermain dengan penuh sukacita. Kemachi terus mengajakku berduel. Sepertinya dia belum mau mengakui kekalahannya. Hahaha, dia lupa kalau aku ini jago dalam permainan duel. Aku pernah menghabiskan uang jajanku untuk bermain di tempat rental. Rental yang sangat mahal, mana pemiliknya agak pelit. Huft.
"Baiklah, sudah 8 kali menang tipis, 3 kali seri, dan 9 kali menang telak dalam 2 game shooting, dan 3 game action-duel. Apa kau belum bosan untuk kukalahkan?" Ucapku dengan bangganya.
"Aku sengaja membuatmu menang dengan mudah!"
Benarkah? Padahal aku sudah cukup mengalah darinya. Tampaknya dia memang orang yang payah dalam permainan, dan enggan untuk mengakui. Hahaha.. ah, ya Tuhan, betapa sadisnya aku.
Aku menoleh ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 10.00. Itu artinya tanpa sadar kami sudah bermain selama dua jam. Cukup menyenangkan juga.
"Baiklah, Machi-machi chan!" Panggilku setengah mengejek. "Sotaru-sama harus pergi dulu karena ada urusan."
"Oh, kau tidak ingin menyelesaikan sisa games di sini?"
"Tidak. Mungkin lainkali. Aku sedang ada misi dari Ruka."
Kemachi tampak diam sejenak. Sambil mengunyah permen karetnya, ia menatapku dengan seksama.
"Kau tahu, aku lebih suka untuk tetap diam. Tapi sungguh, aku tidak melihat apa-apa. Walaupun benar ada, sekilas kau tetap dianggap gila." Katanya sambil kembali memalingkan wajahnya ke arah video games.
Apa yang dia bicarakan, dan apa pula maksudnya dengan tidak melihat apa-apa?
"Apa ma-..."
"Cepatlah pergi! Jika benar ada misi, maka kau harus selesaikan itu segera!" potong Kemachi. "Sebelum terlambat." Imbuhnya.
Aku tidak mengerti dengan apa yang ia bicarakan. Namun... ah, sudahlah. Aku memang harus pergi.
Kemana aku harus pergi? Mungkin sebaiknya aku berjalan-jalan ke kota sebentar? Mungkin aku akan menemukan tempat yang ingin ku kunjungi. Sudahlah. Yang terpenting sekarang, bagaimana caranya agar aku bisa menyelesaikan misiku? Lalu apa yang dimaksud Kemachi dengan sebelum terlambat? Ya Tuhan, ini membingungkan.
Sambil terus berjalan, akhirnya aku sampai ke kota. Sayangnya, aku masih belum yakin kemana aku harus pergi. Hingga akhirnya kuputuskan untuk pergi membeli coklat stik dan memakannya di bangku, di pinggir jalan.
"Apa yang sebenarnya kulakukan disini?" Gumamku.

"Ehm, permisi... apa boleh saya duduk di sini?" Tanya seorang gadis.
Tanpa benar-benar memperhatikannya, aku hanya mempersilakannya duduk. Hanya untuk menjaga etika saja.
Gadis itu kemudian mulai berceloteh ini dan itu. Aku mengerti jika kebanyakan perempuan gemar sekali mengeluh, tapi untuk melakukannya di depan orang asing, tidakkah itu konyol?
"Maaf karena membuatmu harus mendengar semua celotehanku tadi. Sepertinya aku harus pergi." Pamitnya.
Kali ini aku mulai memperhatikannya. Ketika ia selesai membungkuk dan mulai berjalan pergi, aku baru sadar bahwa ada sesuatu yang begitu familiar dari dirinya. Wajahnya. Aku merasa mengenal wajah itu.
Oh benar, wajah gadis itu mengingatkanku pada Ruka. Sangat mirip. Jangan-jangan... oh mungkinkah? Maksudku, ya, tentu saja mungkin!
Sial, dia sudah melangkah cukup jauh. Mau tidak mau, aku harus berlari mengejarnya.
"Tunggu!" Ucapku sambil meraih lengannya.
"A-apa namamu Rika?" Tanyaku sambil mencoba mengatur nafas.
"Ya, bagaimana kau tahu? Aku tidak merasa pernah memperkenalkan diri padamu."
Ah, dia memang benar. Tapi pasti akan merepotkan untuk menjelaskannya.
"Ruka yang memberitahuku. Kau adiknya, bukan? Bisa kau ikut denganku? Dia ingin menemuimu." Jelasku.
"Tapi bagaimana kau..."
"Detailnya akan kuceritakan saat kita sudah sampai. Jika kau tidak keberatan." Potongku seenaknya.

Aku membawanya menuju tempat dimana Ruka selalu duduk dan menunggu. Tapi begitu sampai, orang yang kucari tidak ada di sana. Ini aneh. Di setiap jam yang sama, ia duduk di bangku itu menunggu seseorang sembari menyaksikan terbenamnya sang surya.
Kupikir kau ingin melihat adikmu lagi. Batinku.
"L-lepas!" Teriak Rika. "Apa maksudmu kau akan membawaku pada kakakku. Apa kau gila?"
"Kakakku sudah meninggal hampir satu tahun yang lalu." Imbuhnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Apa?
Ruka sudah... kau pasti bercanda!
"Tolong ceritakan padaku." Pintaku kemudian.
Rika lantas menceritakan segala hal tentang Ruka.
Kembarannya itu (Ruka) adalah tipikal gadis yang akan senantiasa tersenyum, meski ia tertimpa hal terburuk sekalipun. Ayahnya meninggal dalam kecelakaan, sehingga baik Ruka maupun Rika harus tinggal bersama sang ibu. Hingga suatu hari, seseorang berniat mengadopsi keduanya. Tapi Ruka menolak untuk pergi. Ia memutuskan untuk tinggal bersama ibunya.
Naasnya, sang ibu yang kondisinya semakin lama semakin lemah karena terlalu memaksakan diri, akhirnya pun meninggal dunia.
"Aku tidak tahu bagaimana kabar kakak sejak saat itu. Yang kutahu, 7 tahun kemudian aku memutuskan untuk kembali kemari, mencari Ruka. Aku tahu itu adalah selang waktu yang cukup lama, tapi aku tidak punya pilihan, dan aku hanya ingin mengajaknya tinggal bersamaku."
Rika mulai menangis sesenggukan. Air matanya berlinang, membasahi wajahnya yang mulai tampak sedikit pucat.
"Hey, jangan menangis." Hiburku sambil mengusap air matanya. "Apa yang terjadi setelahnya?"
Ia menatap sungai yang mengalir. Siluet kecil yang jika aku tidak salah adalah siluet yang disukai Ruka.
"Aku mendengar kakakku sudah meninggal. Aku tidak tahu bagaimana kisahnya, tetangga-tetangga di sekitar rumahnya menolak untuk memberitahu. Mereka bilang, mereka sudah berjanji pada kakak untuk tidak memberitahu secuil pun tentangnya."
Begitu. Aku mengerti. Sepertinya yang Ruka inginkan hanyalah agat Rika tidak perlu sedih akan kepergiannya nanti. Ia pasti sudah berpikir bahwa Rika mungkin akan menyalahkan dirinya sendiri jika ia tahu. Tapi untuk pergi tanpa satu kata pun... bukankah sama saja?
Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Ruka? Apa kau ingin membuat Rika terombang-ambing seperti ini?
Tak lama kemudian, angin berhembus cukup kencang hingga terdengar suara ranting terjatuh. Spontan saja aku menoleh. Aku melihat sebuah tulisan di dekat pohon itu. Apakah itu tulisan yang Ruka buat?
Sota, tolong kau gali tepat di titik ini. Kumohon.
Huh?
Ternyata benar, ini tulisan Ruka.
Tanpa membuang banyak waktu, aku menggali tanah persis di titik yang dimaksudkan Ruka.
"Hey, apa yang kau lakukan?" tanya Rika.
"Diamlah sebentar. Ini adalah permintaan kakakmu."
Tak lama kemudian, aku menemukan sebuah kotak berukuran sedang. Kotak itu lantas kubawa dan kuberikan pada Rika. Mungkin memang ada suatu penjelasan yang sengaja Ruka tinggalkan di kotak itu. Entahlah. Tapi tidak ada salahnya untuk berharap.
Krakk! Rika mulai membuka kotak itu. Seperti yang sudah diduga, di dalamnya ada sebuah surat dan... apa ini? Sebuah syal yang dibungkus dengan begitu rapi.
Untuk adikku, Rika.
Hey, bukankah ini hari jadimu? Lihat aku membelikanmu sebuah syal yang cukup indah dan lembut. Meskipun tidak bisa seindah segala sesuatu yang kini bisa kau miliki dengan mudah. Tapi kuharap kau menyukainya. Oh, maaf juga aku hanya bisa memberi syal ini, padahal ulang tahunmu sudah terlewat tiga kali, ya? Maafkan aku, aku memang kakak yang kurang baik.
Sejujurnya, aku berniat untuk mengunjungimu dan memberikan hadiah ini secara langsung. Tapi uangku masih kurang sedikit lagi. Hahaha... jangan khawatir. Aku akan berusaha memberikan hadiah ini untukmu, apapun yang terjadi. Sebab kau adalah adikku yang sangat berharga.
Kau tahu, aku juga menulis catatan-catatan kecil berisi banyak hal yang ingin kubagikan padamu. Karena takut akan lupa, aku menyertakannya di dalam kotak ini. Kita akan membacanya bersama-sama, oke? Hehe.
Astaga, sepertinya aku berbicara terlalu banyak untuk ukuran "ucapan selamat ulang tahun". Hahah. Maafkan aku.
Ngomong-ngomong, apa kau ingat janji kita waktu itu? Suatu saat, kita akan bertemu lagi di sini. Tempat yang sering kita kunjungi sesaat ketika kita masih kecil, tempat untuk sekilas melihat indahnya matahari terbenam. Aku masih menyukainya.. hehe. Dan untuk tidak membuatmu tidak menunggu, maka aku memutuskan untuk menunggumu di sini. Aku akan selalu di sini, menyambut kedatanganmu dengan bahagia.
Peluk hangat
Ruka Kyokari
Rika kembali menangis begitu selesai membaca surat tersebut. Jadi itu alasan kenapa Ruka selalu ada di sini, seorang diri. Ia sesekali tersenyum sambil melihat terbenamnya matahari.
Jadi, inikah yang kau tunggu selama ini, Ruka?
Ah, jujur saja... jika itu aku, aku mungkin tidak akan tahan untuk menunggu selama ini. Aku mungkin akan pergi. Tapi kau... kau senantiasa di sini.
Angin kembali berhembus. Kali ini hembusannya terasa begitu lembut.
Terimakasih Sotaru...
Ah, suara Ruka.
Akan kuberitahukan padamu, tapi jangan beritahu Rika. Aku pun meninggal karena kecelakaan. Saat itu aku sedang sakit cukup parah, dan truk itu... sepertinya hilang kendali. Tapi beruntungnya aku berhasil menyelamatkan seorang anak kecil yang hampir saja menjadi korban sepertiku. Syukurlah...
"Jadi kau..."
Iya
"Kenapa kau memberitahuku, dan bukannya memberitahu Rika?"
Kau sudah tahu alasannya...
Ck, apa yang sebenarnya ia pikirkan?
Terimakasih banyak, Sota. Selamat tinggal...
Aku hanya bisa tersenyum.
"K-kakak...?" Ucap Rika sedikit terkejut.
"Apa kau sejak tadi melihatnya?" Tanyaku. Sedikit khawatir kalau-kalau ia menyadari pembicaraan singkatku dengan Ruka.
"Tidak. Aku baru melihatnya. Itu.. bukankah itu kakak?" tanyanya lagi, kemudian ia mulai memanggil-manggil Ruka.
Aku tahu, kesedihan itu memang tak tertahankan. Tapi... ah, sudahlah.
"Relakan dia dengan senyuman. Kuyakin itu yang dia mau." Kataku yang entah sejak kapan mulai terdengar cukup bijak.
"Baiklah.." dia mencoba tersenyum meski air matanya masih saja mengalir.
"Selamat tinggal, kakak! Terimakasih atas semuanya. Aku juga menyukai hadiahmu. Aku janji aku akan menjaganya sebisaku! Baik-baiklah di sana, sampaikan salamku pada ayah dan ibu, dan.. dan..." ia memotong kata-katanya sendiri.
"D-dan seandainya kau tak harus pergi."
Maafkan aku, Rika. Terimakasih sudah mau menerimaku sebagai kakakmu.
Suatu saat kita akan bertemu lagi.
Ruka memeluk Rika untuk beberapa saat, kemudian pergi bersama hembusan angin.
Jadi begini akhirnya... Rika mendapat hadiahnya, dan Ruka mendapatkan perpisahannya.
Dan aku...?
Menjadi penonton pun cukup menyenangkan. Selamat jalan, Ruka. Kini kau tak lagi harus menunggu.

2 komentar:

  1. Apakah hanya aku yg berfikir yg tdk2? Ttg ruka yg mnunggu kematian rika????

    BalasHapus
    Balasan
    1. Benarkah? Mungkin sedikit efek membaca fiksi thriller sebelum buat cerita ini

      Hapus