Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Minggu, 16 Maret 2014

Half Clown

Tittle   : Half Clown
Genre : psychological, idk --"
Copyright :
Aku membuat cerita ini dengan ide cerita yang susah payah kudapat. Bukan cerita yang special memang, tapi untuk menuliskan kata-kata yang membuat pembaca bahagia adalah tantangan untukku. This is my work, my story, my piece of mind, so please don't steal it no matter what.
Inspired by song (nonsense speaker)

"Hey, Elise! Tahu tidak kalau hari ini aku akan mengikuti..."
Dan bla bla bla seterusnya. Itu yang selalu kudengar setiap hari, tanpa terkecuali.
Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku bahkan sudah muak dengan semua yang kalian lakukan. Tak bisakah kalian biarkan aku sendiri?
Kumohon...
Tapi permohonan seperti itu adalah sia-sia. Mereka tidak akan membiarkanku sendiri, sekeras apapun aku mencoba.


Aku memandang secarik poster di papan pengumuman. Sebuah olimpiade tentang bahasa inggris. Aku belum pernah tahu tentang olimpiade serupa. Mungkin ada baiknya aku mencoba untuk ikut.
"Hey, Elise!" Sapa seseorang yang tak lain adalah Marry. "Apa ini? Lomba bahasa inggris? Ah, mendadak aku ingin mengikutinya!"
Dia lagi. Marry selalu menghampiriku yang sedang mengamati sesuatu. "Kau bisa mengikutinya kalau kau mau. Lagipula ini untuk umum." Balasku.
"Kau benar! Peluangnya pasti besar!"
Tolong jangan membicarakan peluang di depanku. Aku membenci itu. Tidak, aku bahkan membenci semua yang akan kau katakan setelah ini atau mungkin sebelumnya. Aku bahkan sedang tidak ingin di sampingmu. Bisakah kau pergi?
"Hey, mau kemana?" Tanya Marry.
Tidak berguna. "Ke suatu tempat." Jawabku. Dia pasti mengikutiku. Lalu pertunjukan di mulai...
"Tahu tidak, di rumah tadi sebelum berangkat, aku..."
Lebih tepatnya cerita pun di mulai. Hey, bolehkah aku menyumbat telingaku? Aku tidak ingin otakku menjadi ensiklopedia dari riwayat hidupmu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak ingin menyakiti seseorang. Lagipula, aku tidak yakin kau akan mau mengerti jikapun aku menjelaskannya. Bukankah kau selalu begitu? Menganggap kata-kataku tidak terlalu penting, entah kau sadar ataupun tidak.
"Apa kau marah padaku? Biasanya kau selalu tersenyum. Ah, aku benci ketika mood kamu seperti itu. Kau selalu seperti itu!" Ucap Marry.
Selalu seperti itu? Lucu sekali.
"Tidak, tidak. Aku hanya sedang sariawan. Terlalu sering tersenyum membuatnya jadi perih." Balasku seenaknya.


Keadaan di rumah tidak jauh berbeda, malah jauh lebih buruk. Namun meski begitu, aku lebih suka berada di sini sebab dengan begitu aku bisa mengunci diri.
"Ibu, Ayah, aku pulang!" Ucapku.
Tak ada suara, tak ada apa-apa. Seperti yang kuduga, di rumah tidak ada orang. Atau mungkin mereka memutuskan untuk pergi? Oh, kapan mereka pergi? Akhirnya mereka pergi juga, eh? Bukan kejutan.
"Tak ada buruknya." Gumamku.
Aku pergi ke kamar. Menyumbat telinga dengan headset, lalu memutar mp3 hingga tertidur. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Tidak ada yang lain.
Tuhan, kumohon...
Meski hanya sesaat, meski hanya lewat mimpi, tolong bawa aku pergi.
Tuhan sangat baik, Ia mendengar do'aku. Ia membawaku pergi ke dunia mimpi yang indah. Tempat yang sangat ingin kutinggali. Tapi sayangnya itu tidak berlangsung lama.
Suara keras pintu yang seperti didobrak itu membangunkanku. Dengan berat hati, aku keluar dari kamar untuk melihat siapa itu.
"Ibu kau sudah..."
"Diam! Masuk ke kamarmu dan lakukan apapun yang kau mau!" Makinya.
Oh, itu cara yang kasar. Kalau kau tidak suka kusambut, baiklah, tak apa. Katakan saja, dengan begitu mungkin aku tak perlu menyambutmu lagi jika benar itu yang kau harapkan.
"Aku akan di kamar jika kau butuh." Kataku kemudian, sambil menutup pintu.
Jika kau butuh.
Bukankah itu kata sederhana yang sebenarnya menyakitkan?
Tak lama setelahnya, dobrakan pintu kedua terdengar. Itu pasti ayah, terdengar sangat jelas.
"Pertunjukan di mulai." Kataku pelan.
Ayah dan ibuku bertengkar lagi. Mereka selalu bertengkar. Ada banyak hal yang mereka pertengkarkan. Terlalu banyak, hingga aku tak ingin membahasnya sekalipun. Walau kadangkala aku penasaran apakah mereka sadar bahwa aku ada di sini, mendengar semua yang mereka pertengkarkan, menjadi saksi bisu atas segala pertikaian. Sejujurnya jika mau, mereka bisa bercerai, membuangku, menelantarkanku dimanapun dan kapanpun. Tapi, kenapa mereka menahanku di sini? Jika diminta untuk pergi, dengan senang hati aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi di rumah ini. Jadi kenapa aku ditawan di sini? Aku lelah. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku lelah menjadi saksi bisu atas semua yang orang-orang lakukan. Aku lelah menjadi semua itu, aku lelah untuk berpura-pura aku tidak ada, aku lelah untuk marah, bahkan aku terlalu lelah untuk menangis. Sungguh aku sudah lelah.
Sebagai pelarianku dari kenyataan, aku selalu pergi mengunjungi khayalanku. Aku menulis semua cerita khayalan itu, bahkan membuat beberapa gambar, dan merancang sendiri sampulnya. Jika ini bisa membuatku merasa lebih baik, kenapa tidak?
Toh.. ini lebih baik daripada mengumbar aib pada buku harian. Lebih baik daripada mengoceh tak karuan lewat surel, blog atau.. entahlah. Masa bodoh dengan semua itu.
Betapa menyedihkan.



Di sekolah...

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menganggap dunia ini tidak adil.

"Maaf Nak, quota untuk sekolah kita sudah habis dan pendaftaran ditutup kemarin." Jelas ibu guru
"Oh, tidak apa-apa, ibu. Hahaha, salah saya karena sangat lambat."
Olimpiade yang selalu ingin kuikuti, lagi-lagi gagal kuikuti. Tuhan, katakan padaku kalau memang bukan ini jalan yang harus kutempuh. Tolong katakan bahwa aku masih punya kesempatan. Katakan bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya itu akan menghiburku.
Aku menggambar senyum di jariku. Berpura-pura bahwa itu Elsie, salah satu tokoh dalam duniaku yang lain. Dunia khayalan. Dialah yang jadi penghibur untukku sejauh ini. Mungkin satu-satunya teman yang kumiliki dan yang kubutuhkan selama ini.
Jangan khawatir Elise. Aku akan menemanimu selalu. Tak perlu khawatir. Kalau waktunya datang, kesempatan yang sama pasti datang.
Sebut aku gila, karena mungkin aku memang sudah mulai kehilangan kewarasanku.
"Elise!" Panggil Marry yang mendadak muncul entah darimana. "Aku jadi ikut olimpiade yang kemarin." Lalu bla bla bla, seperti itu lagi.
"Bersama Nadia." Ucapnya.
Apa?
"Agak menyebalkan sih kalau dia ikut. Tapi daripada quotanya tidak penuh, jadi aku mengajaknya. Hehehe. Akui saja aku memang sangat pandai membujuk orang."
Kau memilih mendaftarkan Nadia yang sebenarnya tidak begitu tertarik? Jadi begitu.
Selalu membanggakan diri dan.. kau sudah seperti mengambil alih hidupku yang sudah nyaris tak berharga ini. Bagus. Sejauh inikah kau ingin menunjukkan betapa tidak bergunanya aku? Aku paham.
Tapi untuk menyembunyikan semuanya, aku tersenyum lebar. Berpura-pura untuk menjadi seperti orang gila, atau orang gila yang mengaku tidak gila. Yang manapun itu.
"Hahahaha..."
"Elise, apa yang kau tertawakan?" Tanya Marry.
Huh? Aku tertawa?
"M-maaf, mendadak aku teringat film komedi yang kutonton kemarin malam."
"Dasar kau..."
"Jadi, Marry, aku akan pulang lebih dulu. Sampai nanti."


Elise...
"Elsie?"
Kenapa kau melarikan diri?
"Aku tidak melarikan diri. Aku hanya menyadari tempatku, dan pergi."
Pembohong
"Oh ya, aku memang pembohong. Aku hanya pembohong yang kini menjadi seorang badut. Karena tidak ada yang kulakukan selain tersenyum dan tertawa."
Semua akan baik-baik saja.
"Elsie, ingin sekali aku ikut ke duniamu. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama. Mungkin bercengkerama bersamamu, teman-temanmu, dan keluargamu. Hahahaha... aku ingin tahu bagaimana mereka akan berpikir tentangku. Mungkin payah, bodoh, atau tidak berguna? Haha.."
Elise, hentikan.
"Maaf, aku tidak bisa berhenti. Hahahaha... sangat aneh, sangat aneh.. hahahaha!"
Elise sadarlah..
Elise hentikan!
Elise! Elise!
Erh..
"Apa yang kau lakukan, Elise? Cepat bangun! Ini sudah waktunya sarapan, bodoh! Harusnya kau sudah menyiapkan sarapan! Kenapa kau ini." Bentak Ibu.
Ternyata mimpi. Padahal akhirnya aku bisa berbicara banyak dengan Elsie. Dengannya yang terlihat seperti manusia sungguhan, bukan.. bukan seperti mereka, iya kan Elsie?
Aku menganggukkan kepalaku. Kemudian tersenyum tanpa kusadari.
Tiba-tiba, Plak!
Ibu menamparku dengan kerasnya. Oh, sepertinya kali ini akan meninggalkan bekas.
"Apa yang kau lamunkan, ha? Cepat pergi ke ruang makan, sekarang!" Perintah ibu yang kemudian berbalik memunggungiku.
"Hahaha, iya, ibu. Maafkan kebodohanku." Jawabku.
Ibu sempat memandangiku sinis sebelum meninggalkanku.
Dunia yang aneh. Mungkin Tuhan hanya terlalu baik. Satu dari sekian banyak jiwa yang ada, dan aku yang dipilih untuk tinggal di tempat ini. Maafkan aku, Tuhan tapi sepertinya aku hanya kurang baik.
Aku keluar dari ruang pengasinganku. Berbenah diri, lalu memasakkan sesuatu untuk orangtuaku.
"Makanan sudah siap!" Ucapku begitu selesai menyiapkan makanan. "Ibu, aku..."
"Pergi saja! Tak usah pamit segala. Lagipula kau sudah tidak dibutuhkan di sini." Maki Ibu.
Padahal bukan itu yang kumaksud.
Aku mengangguk, lalu tersenyum. Kemudian menengok ke ayah. Barangkali dia akan...
"Cepatlah pergi, dasar anak tidak berguna." Ucapnya penuh kebencian.
Ouh, aku salah...
Sepertinya mereka tidak ingin aku di dekatnya lagi.
Sama seperti biasa, ayah dan ibu memberiku sepuluh ribu yen masing-masing, untukku pergi bermain di luar sampai petang. Hahaha... mereka hanya tidak ingin diganggu. Pekerjaan mereka pasti berat sekali.
"Terimakasih, aku pergi."


Aku berjalan gontai menuju mini-market langgananku yang letaknya di seberang. Itu artinya aku harus melewati jembatan itu.
Ah, fisikku agaknya mulai melemah, di tambah perut yang terus meronta-ronta.. rasanya sangat.. entahlah. Aku tidak tahu, dan aku kembali tertawa kecil.
Aku memang belum makan apapun sejak dua hari yang lalu, selain dua mie instant. Mungkin selama ini aku terlalu banyak makan mie? Hahaha, sudahlah, yang penting makan. Lagipula ayah dan ibu enggan makan bersamaku.
Keduanya pasti cepat pergi ketika selesai, seolah mereka hanya singgah di warung kecil untuk makan saja. Tidak lebih. aku sendiri jarang berkesempatan memakan masakanku sendiri. terdengar konyol memang.
Persediaan makanan hanya cukup untuk ayah dan ibu, dan mereka jarang pulang sehingga aku tidak punya uang. Mini-market langgananku itu sebenarnya juga tempatku bekerja paruh waktu. Tapi begitu ayah mengetahuinya, aku terpaksa harus berhenti. Katanya tidak pantas orang sepertiku bekerja sambilan. Tidak berguna, bodoh, payah, dan menyusahkan. Membuat malu nama keluarga. Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mendebat ayahku.
"Elsie, kenapa perjalan ke mini-market mendadak begitu sulit seperti ini?"
Bertahanlah Elise. Tak apa, aku selalu di sampingmu. Jangan khawatir. Nanti setelah sampai di sana, sebaiknya kau membeli sesuatu untuk dimakan.
Kuharap begitu. Tapi aku mendapat firasat buruk. Sepertinya aku tidak akan sampai ke tempat manapun.
Firasatku benar. Seseorang yang mengendarai sepeda motor mencuri tasku dengan paksa. Membuat fisikku yang lemah ini semakin tak bisa menjaga keseimbangan, dan akhirnya jatuh ke sungai yang kebetulan alirannya cukup deras.
Arus membawaku pergi. Di tambah tubuhku yang terasa begitu lemah, aku bahkan tidak punya kekuatan untuk menepi.
Elise! Elise!
"Jangan khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, tenang."
Tapi kau bisa mati!
"Bukankah sejak awal aku tidak pernah ada? Tidak dianggap, lebih tepatnya."
Elise!
Kau bahkan hanya sebuah khayalan, Elsie. Khayalan dari diriku yang menyedihkan ini. Meski begitu, entah kenapa aku merasa cukup bahagia.
"Hey, kalau aku bisa ke duniamu, ayo kita main?"
Aku memandang sosok khayalanku, Elsie, di atas jembatan. Setelah kupikir-pikir, sosoknya hampir menyerupaiku. Sosoknya semakin lama semakin kabur dan menjauh.
Sial, kesadaranku mulai berkurang.
Tubuhku hanyut bersama arus sungai kecil ini. Meski begitu aku masih saja tersenyum dan tertawa seolah tidak ada yang terjadi. Ah ya, benar...
Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
Kemudian setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku memejamkan mata. Biarlah arus membawaku pergi, hilang dari muka bumi.

0 komentar:

Posting Komentar