Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Sounds of Harmony

Maybe for once in a while you have to pay attention, even to the very simple thing in your life. Try to listen to the words that have to be listened. Maybe one day, You'll find that sound of harmony.

Power of Faith

Hope is something that easy to get, but hard to be held. If you never give up on your hope, it's not just people will acknowledge you but also God will rewarded you. There is nothing wrong about having Faith. Instead, having no faith is something like a lost man in nowhere. Don't you think?

Reason of Dream

Dream is like a whole empty sheat you have to fulfill so you can take your score and your star. Then your effort would be like a pen to help you fulfill your sheat. After that you'll realize "the all written sheat is actually the story of your life."

Taste of Life

"Love, Laugh, and Sincere," are always being the best feelings in life. But not to forget that "Hurt, Tears, and Regret" are always be the most precious thing which can teach you how to taste both the good and bad favours in your life.

Secret of Mind

If you want to be desperate, Just say "I am Useless!" and your spirit will be gone in no time. But if you REALLY want to be better, NEVER say such thing. Just say "I'm good enough, cos I am ME. No one can change." remember that God create you because of some reasons, some mission, something means you're NOT USELESS AT ALL. You have to find it on your own.

Senin, 13 Oktober 2014

Kamar

Ada tugas Bahasa Indonesia suruh bikin cerpen yang mendeskripsikan kamar, jadinya malah amburadul seperti ini.. hahah, ya sudahlah.
-------------



Tengah malam. Batinku. Lagi-lagi aku terbangun ketika semua orang masih asyik berkelana di dunia mimpi.
Sebuah helaan nafas panjang bercampur frustasi meloncat keluar dari mulutku. Lagi-lagi aku harus mematikan alarm hpku yang belum sempat berbunyi. Aku bahkan belum menyelesaikan mimpiku, itupun kalau aku bermimpi. Tunggu dulu, aku tidak ingat ada suatu cuplikan ajaib yang sempat mampir di alam bawah sadarku. Itu artinya...

            Ah, sudahlah. Tidak penting.

            Aku melihat sekitarku, kemudian mendapati dua sosok manusia yang tengah tertidur pulas beralaskan karpet. Mereka ibu dan adikku. Hey, tidakkah raut muka ibu terlihat begitu damai? Sesuatu yang jarang menghias wajahnya ketika berada di dunia nyata. Mungkin pada akhirnya dunia mimpi benar-benar menjadi tempat pelarian dari kejamnya realita. Kadang kupikir hal itu sedikit ironis. Tapi, kenapa tidak jika itu bisa mengurangi beban yang selama ini menggelayuti hati dan pikiran.

            Aku beranjak dari kasur biru yang seharusnya menjadi tempat tidur adik kecilku. Kasur biru yang berada di ruang keluarga ini sejatinya merupakan kasur yang diperuntukkan pada pasien.
Benda ini sudah menjadi salah satu penghuni rumahku sejak dua tahun yang lalu, semenjak ayah mendapat musibah. Entah berapa kali sudah kasur ini keluar-masuk gudang. Tapi yang jelas, kasur ini akan terus menjadi bagian dari rumah ini. Setidaknya sampai Tuhan berkehendak lain.
Sebenarnya, kasur ini hanya akan keluar dari gudang ketika seseorang sedang sakit. Itupun jika sakitnya dianggap cukup serius. Wajar saja, orang sakit membutuhkan istirahat ekstra. Satu-satunya hal yang membuat benda ini tidak segera kembali ke gudang tidak lain karena benda ini sangat nyaman untuk dijadikan tempat tidur di depan Tv.

Aku kembali menghela nafas.

Kasihan betapa adikku harus tidur di karpet. Kakak macam apa aku ini. Pikirku. Mungkinkah tadi ibu pun tak tega membangunkanku yang sudah terlelap bersama lembaran-lembaran tugas di sampingku yang hampir tak terjamah? Tunggu sebentar...
“Tugas?” gumamku setengah panik. Bukankah itu alasan kenapa aku terbangun?
...

Sebuah gagang pintu kuraih. Ckreeek! Suaranya tidak merdu, tapi setidaknya tidak berisik. Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 m2 itu tampak berbeda untuk suatu alasan. Berbeda bukan dalam artian aneh, melainkan asing.
Tembok bercat hijau itu masih tampak sama, lantai keramik berwarna abu-abu, juga tirai biru berukuran sedang telah lama menggantung menutupi jendela yang sisi lainnya berbatasan langsung dengan meja makan. Aku bahkan tidak mengerti kenapa jendela itu ada di sana, di sebelah timur, dimana sinar matahari tetap kesulitan untuk mengunjungi ruangan yang notabene menjadi kamarku.
“Lantas apanya yang berbeda?” ucapku pelan.

Aku duduk di atas kasur tanpa bingkai penyangga. Letak kasur itu di timur, tepat di bawah jendela dengan posisi horizontal menghadap utara-selatan. Kasur itu tidak begitu besar, mungkin sekitar 80 x 200 cm. Cukup untuk satu orang. Lalu di kirinya terdapat meja belajar dengan tumpukan buku di bawahnya. Buku itu sudah menumpuk agak lama, entah karena tidak muat, atau aku yang malas menjejalkannya di rak yang hampir membeludak. Ah, sama saja, kupikir.
Meja itu tertutup oleh kain hasil membatik dengan kawan-kawan. Warnanya biru pudar, dengan garis putih membentuk pola sederhana. Terlihat sedikit absurd, kalau boleh kukatakan.  
Aku jarang memakai meja belajar itu, sebab aku tidak terbiasa duduk tenang di kursi sambil belajar. Aku lebih suka belajar di ruang tamu, atau di ruang keluarga yang ada TVnya. Mungkin permasalahan sebenarnya bukan pada bagaimana aku tidak terbiasa duduk tenang di kursi, melainkan bagaimana aku tidak menikmati sensasi terkurung bersama mata pelajaran.

Aku tidak membenci ilmu. Aku hanya tidak cocok dengan jembatan yang menyeberangkanku kesana.

Untuk sesaat, bukannya mengerjakan tugas, aku malah duduk termangu menyaksikan setiap sudut ruangan. Memang tidak ada yang salah dengan ruangan yang tengah ku singgahi ini. Tapi, aku hanya heran. Heran bagaimana ruangan ini bisa tampak begitu penuh dan kosong di saat yang bersamaan. Aneh. Mungkin aku yang aneh.

Aku mengedarkan pandanganku ke bagian utara, terdapat dua buah almari pakaian. Yang satu merupakan almari berwarna coklat tua, lalu satunya dengan warna coklat muda. Almari berwarna coklat muda itu milik adikku. Ia masih kecil, belum memiliki kamar sendiri, jadi almari itu ditaruh di kamarku. Sedangkan, yang coklat tua itu milikku.
Di atas almari itu bertengger dua koper, yang entah sampai kapan akan tetap di sana. Agaknya koper-koper itu sudah cukup berumur. Pasalnya, warna koper itu tidak lagi terlihat cerah, bukan pula pudar, lebih seperti usang. Mungkin ia terlalu lama menunggu seseorang untuk menciptakan kenangan baru dengannya, sehingga kini hanya debu dan makhluk kecil pembuat jaringlah yang menjadi temannya di atas sana.

Aku melihat angka yang tertera di hpku. Di sana tertera pukul 1.34, itu artinya sudah setengah jam aku memegang tugasku tanpa melakukan apa-apa. Mendadak jadi malas juga untuk mengerjakannya. Tapi mau bagaimana lagi, tugas adalah tugas. Itu kewajiban yang tidak boleh dilalaikan, bukan?
Aku menghela nafas panjang. Aneh, bagaimana semua pemikiran tidak penting ini lebih banyak menyedot waktu.

Tidak penting?

Sejenak kemudian aku terdiam. Aku mencoba mengoreksi kata-kataku sendiri. Tanpa sadar aku benar-benar mengucapkan dua kata itu, “Tidak penting.” Apanya yang tidak penting?
Sekali lagi, aku mengamati setiap sudut di kamarku. Jika dilihat sepintas, ruangan ini tampak lebar karena semua perabotnya merapat ke dinding. Ada banyak barang yang sebenarnya tidak sempat terwujud menjadi ucapan, seperti gulungan kertas di atas koper itu.
Aku sadar, semua benda itu tidak mungkin di sini tanpa suatu alasan khusus. Dimana aku sadar setiap benda memiliki memori, dan tujuan tersendiri.

Kini, aku mengerti apa yang berbeda dari ruangan ini. Yakni ikatan. Ikatan jiwa yang menyatukan majikan dan benda miliknya. Selayaknya seseorang yang enggan mengganti sepeda lamanya dengan yang baru, sebab ia sudah lama bersamanya. Aku pun begitu.
Kadang aku takut untuk tahu kalau suatu hari nanti aku akan merindukan saat-saat aku berada di ruangan ini. Sampai-sampai, aku lupa untuk menghabiskan waktu untuk diriku sendiri, di ruangan ini. Sayangnya waktu untuk diri sendiri itu semakin lama semakin terkuras. Bahkan kadang seseorang akan kehabisan akal ketika ia sudah benar-benar mendapatkan waktu yang ia inginkan.

Well, sesekali mengingat masa lalu pun tidak ada salahnya. Bukankah masa lalu yang membuat seseorang seperti apa dia sekarang. Karena keputusannya di masa lalu lah ia menjadi seseorang yang sekarang. Bahkan masa sekarang pun kelak akan menjadi masa lalu bagi masa depan. Rumit sekali.
           
            Apakah kau juga begitu, kamar? Akankah kau merasa kesepian seandainya tidak ada seorangpun yang menginjakkan kakinya?
Hahaha, mungkin ganjil, jika kutujukan ini padamu. Namun ketahuilah, seperti itulah manusia. Sedikit aneh jalan pemikirannya, tapi ia selalu memiliki tujuan di setiap tindakannya. Walau kada

New Version (Half Clown)



Half Clown

"Hey, Elise! Tahu tidak kalau hari ini aku akan mengikuti..."  Dan bla bla bla seterusnya. Itu yang selalu kudengar setiap hari, tanpa terkecuali. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku bahkan sudah muak dengan semua yang kalian lakukan. Tak bisakah kalian biarkan aku sendiri? 
Kumohon berhentilah...
Tapi permohonan seperti itu adalah sia-sia. Mereka tidak akan membiarkanku sendiri, sekeras apapun aku mencoba. Seolah dunia ikut bersekongkol untuk tidak membiarkanku mendapatkan sedikitpun ketenangan.
 Ketika jam pelajaran telah usai, aku pergi mengelilingi sekolah tanpa tujuan. Sebenarnya ingin sekali aku membeli makanan di kantin, tapi aku tidak memiliki uang untuk itu. Saat melewati koridor sekolah, ada sebuah papan pengumuman yang di sana terdapat banyak sekali poster dan beberapa informasi yang ditempelkan guru. Sejujurnya aku tak pernah benar-benar tertarik untuk berhenti, sampai aku memandang secarik poster di papan pengumuman. Gambarnya tampak menarik, aku ingin tahu apakah isinya pun semenarik itu.
Aku mulai mengedarkan pandanganku dari satu sudut ke sudut yang lain. Mencerna setiap kata yang tertera apik di sana. Sebuah olimpiade tentang bahasa inggris. Aku belum pernah tahu tentang olimpiade serupa. Mungkin ada baiknya aku mencoba untuk ikut.
 "Hey, Elise!" Sapa seseorang yang tak lain adalah Marry. "Apa ini? Lomba bahasa inggris? Ah, mendadak aku ingin mengikutinya!" 
Dia lagi. Marry selalu menghampiriku yang sedang mengamati sesuatu. Akan menyenangkan kalau dia hanya bayangan, tetap diam tanpa perlu kuperhatikan.
"Kau bisa mengikutinya kalau kau mau. Lagipula ini untuk umum." Balasku.
"Kau benar! Peluangnya pasti besar!"
 Peluang? Sunggguh hanya itukah yang ada di pikiranmu? Yah, bukannya aku peduli, hanya saja tolong jangan membicarakan peluang di depanku. Aku membenci itu. Tidak, aku bahkan membenci semua yang akan kau katakan setelah ini atau mungkin sebelumnya. Aku bahkan sedang tidak ingin di sampingmu. Bisakah kau pergi?
"Hey, mau kemana?" Tanya Marry.
Tidak berguna. "Ke suatu tempat." Jawabku.
 Dia pasti mengikutiku. Lalu pertunjukan di mulai. "Tahu tidak, di rumah tadi sebelum berangkat, aku..." Lebih tepatnya cerita pun di mulai. Hey, bolehkah aku menyumbat telingaku? Aku tidak ingin otakku menjadi ensiklopedia dari riwayat hidupmu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak ingin menyakiti seseorang. Lagipula, aku tidak yakin kau akan mau mengerti jikapun aku menjelaskannya. Bukankah kau selalu begitu? Menganggap kata-kataku tidak terlalu penting, entah kau sadar ataupun tidak.
 "Apa kau marah padaku? Biasanya kau selalu tersenyum. Ah, aku benci ketika mood kamu seperti itu. Kau selalu seperti itu!" Ucap Marry.
Selalu seperti itu? Lucu sekali. "Tidak, tidak. Aku hanya sedang sariawan. Terlalu sering tersenyum membuatnya jadi perih." Balasku seenaknya.
...

Keadaan di rumah tidak jauh berbeda, malah jauh lebih buruk. Namun meski begitu, aku lebih suka berada di sini sebab dengan begitu aku bisa mengunci diri.
"Ibu, Ayah, aku pulang!" Ucapku. 
Tak ada suara, tak ada apa-apa. Seperti yang kuduga, di rumah tidak ada orang. Atau mungkin mereka memutuskan untuk pergi? Oh, kapan mereka pergi? Akhirnya mereka pergi juga, eh? Bukan kejutan.
"Tak ada buruknya." Gumamku. 
Aku pergi ke kamar. Ah, sejak kapan ruangan sempit ini terasa semakin sempit, walaupun tidak ada banyak barang. Hanya ada almari di sudut ruangan, dan meja belajar yang di atasnya terdapat cermin sedang. Aku jarang menggunakannya. Cermin itu memperlihatkan bayangan diriku yang tampak begitu menyedihkan, dan aku benci melihatnya.
Suasana yang begitu menenangkan ini kumanfaatkan untuk tidur, melepas semua beban yang menggelayuti tubuh. Namun sebelum itu, aku menyumbat telingaku dengan headset, lalu memutar mp3 hingga tertidur. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Tidak ada yang lain.
 Tuhan, kumohon, bawa aku pergi...
 Tuhan sangat baik, Ia mendengar do'aku. Ia membawaku pergi ke dunia mimpi yang indah. Tempat yang sangat ingin kutinggali. Tapi sayangnya itu tidak berlangsung lama. 
Suara keras pintu yang seperti didobrak itu membangunkanku. Dengan berat hati, aku keluar dari kamar untuk melihat siapa itu.
"Ibu kau sudah..."
"Diam! Masuk ke kamarmu dan lakukan apapun yang kau mau!" Makinya.
Oh, itu cara yang kasar sekali, bu. Kalau kau tidak suka kusambut, baiklah, tak apa. Katakan saja, dengan begitu mungkin aku tak perlu menyambutmu lagi jika benar itu yang kau harapkan.
"Aku akan di kamar jika kau butuh." Kataku kemudian, sambil menutup pintu.
 Jika kau butuh...?
Bukankah itu kata sederhana yang sebenarnya menyakitkan?
 Tak lama setelahnya, dobrakan pintu kedua terdengar. Itu pasti ayah, terdengar sangat jelas. "Pertunjukan di mulai." Kataku pelan.
Ayah dan ibuku bertengkar lagi. Mereka selalu bertengkar. Ada banyak hal yang mereka pertengkarkan. Terlalu banyak, hingga aku tak ingin membahasnya sekalipun. Walau kadangkala aku penasaran apakah mereka sadar bahwa aku ada di sini, mendengar semua yang mereka pertengkarkan, menjadi saksi bisu atas segala pertikaian. Sejujurnya jika mau, mereka bisa bercerai, membuangku, menelantarkanku dimanapun dan kapanpun. Tapi, kenapa mereka menahanku di sini? Jika diminta untuk pergi, dengan senang hati aku tidak akan menginjakkan kakiku lagi di rumah ini. Jadi kenapa aku ditawan di sini? Aku lelah. Aku lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku lelah menjadi saksi bisu atas semua yang orang-orang lakukan. Aku lelah menjadi semua itu, aku lelah untuk berpura-pura aku tidak ada, aku lelah untuk marah, bahkan aku terlalu lelah untuk menangis. Sungguh aku sudah lelah.
Sebagai pelarianku dari kenyataan, aku selalu pergi mengunjungi khayalanku. Aku menulis semua cerita khayalan itu, bahkan membuat beberapa gambar, dan merancang sendiri sampulnya. Jika ini bisa membuatku merasa lebih baik, kenapa tidak?
Toh.. ini lebih baik daripada mengumbar aib pada buku harian. Lebih baik daripada mengoceh tak karuan lewat surel, blog atau.. entahlah. Masa bodoh dengan semua itu.
Betapa menyedihkan.
...

Di sekolah...
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku menganggap dunia ini tidak adil.
 “Maaf Nak, kuota untuk sekolah kita sudah habis dan pendaftaran ditutup kemarin." Jelas ibu guru.
"Oh, tidak apa-apa, ibu. Hahaha, salah saya karena sangat lambat."
 Olimpiade yang selalu ingin kuikuti, lagi-lagi gagal kuikuti. Tuhan, katakan padaku kalau memang bukan ini jalan yang harus kutempuh. Tolong katakan bahwa aku masih punya kesempatan. Katakan bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya itu akan menghiburku.
Aku menggambar senyum di jariku. Berpura-pura bahwa itu Elsie, salah satu tokoh dalam duniaku yang lain. Khayalanku. Dialah yang jadi penghibur untukku sejauh ini. Mungkin satu-satunya teman yang kumiliki dan yang kubutuhkan selama ini.
 Jangan khawatir Elise. Aku akan menemanimu selalu. Tak perlu khawatir. Kalau waktunya datang, kesempatan yang sama pasti datang.
 Sebut aku gila, karena mungkin aku memang sudah mulai kehilangan kewarasanku.
 "Elise!" Panggil Marry yang mendadak muncul entah darimana. "Aku jadi ikut olimpiade yang kemarin!" Lalu bla bla bla, seperti itu lagi. 
"Bersama Caroline." Ucapnya.
Apa?!
"Agak menyebalkan sih kalau dia ikut. Tapi daripada quotanya tidak penuh, jadi aku mengajaknya. Hehehe. Akui saja aku memang sangat pandai membujuk orang."
 Kau memilih mendaftarkan Caroline yang sebenarnya tidak begitu tertarik? Jadi begitu. Selalu membanggakan diri dan.. kau sudah seperti mengambil alih hidupku yang sudah nyaris tak berharga ini. Bagus. Sejauh inikah kau ingin menunjukkan betapa tidak bergunanya aku? Aku paham.
Jantungku berdegup kencang, ada sesuatu yang mengganjal di dada. Tuhan, apakah ini yang namanya sakit yang tak lagi terbendung? Terasa lebih menyakitkan dari biasanya. Tapi untuk menyembunyikan semuanya, aku tersenyum lebar. Berpura-pura untuk menjadi seperti orang gila, atau orang gila yang mengaku tidak gila. Yang manapun itu.
 "Hahahaha..." 
"Elise, apa yang kau tertawakan?" Tanya Marry. 
 Huh? Aku tertawa?
 "M-maaf, mendadak aku teringat film komedi yang kutonton kemarin malam."
"Dasar kau..."
"Jadi, Marry, aku akan pulang lebih dulu. Sampai nanti."
...

Elise...
"Elsie?"
 Kenapa kau melarikan diri?
"Aku tidak melarikan diri. Aku hanya menyadari tempatku, dan pergi."
Pembohong
 "Oh ya, aku memang pembohong. Aku hanya pembohong yang kini menjadi seorang badut. Karena sekarang aku tidak tahu apa lagi yang harus kulakukan selain tersenyum dan tertawa."
 Semua akan baik-baik saja.
"Elsie, ingin sekali aku ikut ke duniamu. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama. Mungkin bercengkerama bersamamu, teman-temanmu, dan keluargamu. Hahahaha... aku ingin tahu bagaimana mereka akan berpikir tentangku. Mungkin payah, bodoh, atau tidak berguna? Haha.."
 Elise, hentikan!
"Maaf, aku tidak bisa berhenti. Hahahaha... sangat aneh, sangat aneh.. hahahaha!"
 Elise sadarlah..
Elise hentikan!
Elise!
Elise!

Erh..
"Apa yang kau lakukan, Elise? Cepat bangun! Ini sudah waktunya sarapan, bodoh! Harusnya kau sudah menyiapkan sarapan! Kenapa kau ini." Bentak Ibu.
Ternyata mimpi. Padahal akhirnya aku bisa berbicara banyak dengan Elsie. Dengannya yang terlihat seperti manusia sungguhan, tidak seperti sosok palsu. Tidak seperti ayah, ibu, Marry, ataupun yang lainnya, iya kan Elsie?
Aku menganggukkan kepalaku. Kemudian tersenyum tanpa kusadari. 

Tiba-tiba, Plak!
Ibu menamparku dengan kerasnya. Oh, sepertinya kali ini akan meninggalkan bekas.
"Apa yang kau lamunkan, ha? Cepat pergi ke ruang makan, sekarang!" Perintah ibu yang kemudian berbalik memunggungiku.
“Ibu, apa kau ibuku?” tanyaku tiba-tiba. Ibu tak pernah melihatku dengan tatapan senang, aku ingin tahu kenapa. Aku juga tidak tahu kenapa ibu selalu bertengkar dengan ayah, kenapa keduanya jarang pulang, kenapa keduanya terlihat berbeda, kenapa keduanya semakin lama terlihat semakin asing, bahan aku tidak tahu kenapa aku begitu dibenci. Sudah lama pertanyaan itu terpendam jauh di dasar jiwa. Tapi setiap kali aku menimbunnya, pertanyaan itu tidak semakin hilang justru mengganjal seperti duri. Aku tidak kuat memendamnya lagi, kali ini aku ingin tahu.
Ibu mengernyitkan dahinya, sedikit iba ia memandangku. Mungkin untuk pertama kalinya ia mau membuka hatinya sedikit untukku?

Sayangnya aku salah. “Diam kau! Hal-hal seperti itu bukan urusan anak kecil!” bentaknya.
“Bu, tidak tahu denganmu, tapi aku merasa kau bukan ibuku.” Gumamku pelan. Setidaknya itulah yang kuyakini hingga saat ini, meski belum ada bukti yang meluruskan keyakinan itu.

“Kau mengatakan sesuatu bocah tengil? Jangan buat aku marah dengan segala macam tingkah bodohmu!” bentaknya lagi. “Sekarang cepat buatkan sarapan!”
"Hahaha, iya, ibu. Maafkan kebodohanku." Jawabku.

Ibu sempat memandangiku sinis sebelum meninggalkanku.
Dunia yang aneh. Tuhan, apa aku kurang berusaha? Sepertinya semua tidak kunjung membaik.
Aku keluar dari ruang pengasinganku. Berbenah diri, lalu memasakkan sesuatu untuk orangtuaku. Bukan sesuatu yang istimewa, tapi cukup untuk membuat perut berhenti meronta. Sambil terus memasak, pikiranku terus melayang ke berbagai tempat.
Aku mungkin tidak tahu bagaimana awal dari segalanya, tapi aku tahu kalau semua ini harus berakhir.
...
"Makanan sudah siap!" Ucapku begitu selesai menyiapkan makanan.
"Ibu, aku..."
"Pergi saja! Tak usah pamit segala. Lagipula kau sudah tidak dibutuhkan di sini." Potong Ibuku sambil memaki dengan suara yang keras.

Padahal bukan itu yang kumaksud. Aku hanya ingin tahu apakah aku bisa makan bersama kalian. Tapi sudahlah.
Aku mengangguk, lalu tersenyum. Kemudian menengok ke ayah. Barangkali dia akan...
"Cepatlah pergi, dasar anak tidak berguna." Ucapnya penuh kebencian. Ouh, sepertinya mereka sedang tidak ingin aku di dekatnya.

Sama seperti biasa, ayah dan ibu memberiku uang. Namun kali ini nominalnya lebih besar, sepuluh ribu yen masing-masing. Mungkin dia ingin aku bermain sepuasnya sampai petang. Hahaha... aku tahu, mereka hanya tidak ingin diganggu. Pekerjaan mereka pasti berat sekali. Aku yang menyedihkan ini tidak boleh terlalu menyusahkan keduanya.
"Terimakasih, aku pergi."
...

Aku berjalan gontai menuju mini-market langgananku yang letaknya di seberang sungai. Itu artinya aku harus melewati jembatan itu. Ah, fisikku agaknya mulai melemah, di tambah perut yang terus meronta-ronta. Rasanya sangat.. entahlah. Aku tidak tahu, dan aku kembali tertawa kecil.

Aku memang belum makan apapun sejak dua hari yang lalu, selain dua mie instant. Mungkin selama ini aku terlalu banyak makan mie? Hahaha, sudahlah, yang penting makan. Lagipula ayah dan ibu enggan makan bersamaku. Keduanya pasti cepat pergi ketika selesai, seolah mereka hanya singgah di warung kecil untuk makan saja. Tidak lebih. aku sendiri jarang berkesempatan memakan masakanku sendiri. Terdengar konyol memang.
Persediaan makanan tidak cukup untuk kami bertiga. Jadi untuk menghematnya, aku sengaja mengurangi porsiku sedikit demi sedikit. Selain itu, mereka pun jarang pulang ke rumah sehingga aku tidak punya uang. Mini-market langgananku itu sebenarnya juga tempatku bekerja paruh waktu. Tapi begitu ayah mengetahuinya, aku terpaksa harus berhenti. Katanya tidak pantas orang sepertiku bekerja sambilan. Tidak berguna, bodoh, payah, dan menyusahkan. Membuat malu nama keluarga. Mau bagaimana lagi, aku tidak bisa mendebat ayahku.

"Elsie, kenapa perjalan ke mini-market mendadak begitu sulit seperti ini?"

Bertahanlah Elise. Tak apa, aku selalu di sampingmu. Jangan khawatir. Nanti setelah sampai di sana, sebaiknya kau membeli sesuatu untuk dimakan.

Kuharap begitu. Tapi aku mendapat firasat buruk. Sepertinya aku tidak akan sampai ke tempat manapun. 
Firasatku benar. Seseorang yang mengendarai sepeda motor mencuri tasku dengan paksa. Membuat fisikku yang lemah ini semakin tak bisa menjaga keseimbangan, dan akhirnya jatuh ke sungai yang kebetulan alirannya cukup deras.
Arus membawaku pergi. Di tambah tubuhku yang terasa begitu lemah, aku bahkan tidak punya kekuatan untuk menepi.

Elise!
Elise!
"Jangan khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, tenang."

Tapi kau bisa mati!
"Bukankah sejak awal aku tidak pernah ada? Tidak dianggap, lebih tepatnya."

Elise!

Kau bahkan hanya sebuah khayalan, Elsie. Khayalan dari diriku yang menyedihkan ini. Meski begitu, entah kenapa aku merasa cukup bahagia.
"Hey, kalau aku bisa ke duniamu, ayo kita main?" 

Aku memandang sosok khayalanku, Elsie, di atas jembatan. Setelah kupikir-pikir, sosoknya hampir menyerupaiku. Sosoknya semakin lama semakin kabur dan menjauh.

Sial, kesadaranku mulai menghilang.

Tubuhku hanyut bersama arus sungai kecil ini. Meski begitu aku masih saja tersenyum dan tertawa seolah tidak ada yang terjadi. Ah ya, benar...
Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.

Kemudian setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku memejamkan mata. Biarlah arus membawaku pergi, hilang dari muka bumi.