Define Yourself

Who are you now or later, the choice is yours.

Senin, 13 Oktober 2014

Kamar

Ada tugas Bahasa Indonesia suruh bikin cerpen yang mendeskripsikan kamar, jadinya malah amburadul seperti ini.. hahah, ya sudahlah.
-------------



Tengah malam. Batinku. Lagi-lagi aku terbangun ketika semua orang masih asyik berkelana di dunia mimpi.
Sebuah helaan nafas panjang bercampur frustasi meloncat keluar dari mulutku. Lagi-lagi aku harus mematikan alarm hpku yang belum sempat berbunyi. Aku bahkan belum menyelesaikan mimpiku, itupun kalau aku bermimpi. Tunggu dulu, aku tidak ingat ada suatu cuplikan ajaib yang sempat mampir di alam bawah sadarku. Itu artinya...

            Ah, sudahlah. Tidak penting.

            Aku melihat sekitarku, kemudian mendapati dua sosok manusia yang tengah tertidur pulas beralaskan karpet. Mereka ibu dan adikku. Hey, tidakkah raut muka ibu terlihat begitu damai? Sesuatu yang jarang menghias wajahnya ketika berada di dunia nyata. Mungkin pada akhirnya dunia mimpi benar-benar menjadi tempat pelarian dari kejamnya realita. Kadang kupikir hal itu sedikit ironis. Tapi, kenapa tidak jika itu bisa mengurangi beban yang selama ini menggelayuti hati dan pikiran.

            Aku beranjak dari kasur biru yang seharusnya menjadi tempat tidur adik kecilku. Kasur biru yang berada di ruang keluarga ini sejatinya merupakan kasur yang diperuntukkan pada pasien.
Benda ini sudah menjadi salah satu penghuni rumahku sejak dua tahun yang lalu, semenjak ayah mendapat musibah. Entah berapa kali sudah kasur ini keluar-masuk gudang. Tapi yang jelas, kasur ini akan terus menjadi bagian dari rumah ini. Setidaknya sampai Tuhan berkehendak lain.
Sebenarnya, kasur ini hanya akan keluar dari gudang ketika seseorang sedang sakit. Itupun jika sakitnya dianggap cukup serius. Wajar saja, orang sakit membutuhkan istirahat ekstra. Satu-satunya hal yang membuat benda ini tidak segera kembali ke gudang tidak lain karena benda ini sangat nyaman untuk dijadikan tempat tidur di depan Tv.

Aku kembali menghela nafas.

Kasihan betapa adikku harus tidur di karpet. Kakak macam apa aku ini. Pikirku. Mungkinkah tadi ibu pun tak tega membangunkanku yang sudah terlelap bersama lembaran-lembaran tugas di sampingku yang hampir tak terjamah? Tunggu sebentar...
“Tugas?” gumamku setengah panik. Bukankah itu alasan kenapa aku terbangun?
...

Sebuah gagang pintu kuraih. Ckreeek! Suaranya tidak merdu, tapi setidaknya tidak berisik. Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 m2 itu tampak berbeda untuk suatu alasan. Berbeda bukan dalam artian aneh, melainkan asing.
Tembok bercat hijau itu masih tampak sama, lantai keramik berwarna abu-abu, juga tirai biru berukuran sedang telah lama menggantung menutupi jendela yang sisi lainnya berbatasan langsung dengan meja makan. Aku bahkan tidak mengerti kenapa jendela itu ada di sana, di sebelah timur, dimana sinar matahari tetap kesulitan untuk mengunjungi ruangan yang notabene menjadi kamarku.
“Lantas apanya yang berbeda?” ucapku pelan.

Aku duduk di atas kasur tanpa bingkai penyangga. Letak kasur itu di timur, tepat di bawah jendela dengan posisi horizontal menghadap utara-selatan. Kasur itu tidak begitu besar, mungkin sekitar 80 x 200 cm. Cukup untuk satu orang. Lalu di kirinya terdapat meja belajar dengan tumpukan buku di bawahnya. Buku itu sudah menumpuk agak lama, entah karena tidak muat, atau aku yang malas menjejalkannya di rak yang hampir membeludak. Ah, sama saja, kupikir.
Meja itu tertutup oleh kain hasil membatik dengan kawan-kawan. Warnanya biru pudar, dengan garis putih membentuk pola sederhana. Terlihat sedikit absurd, kalau boleh kukatakan.  
Aku jarang memakai meja belajar itu, sebab aku tidak terbiasa duduk tenang di kursi sambil belajar. Aku lebih suka belajar di ruang tamu, atau di ruang keluarga yang ada TVnya. Mungkin permasalahan sebenarnya bukan pada bagaimana aku tidak terbiasa duduk tenang di kursi, melainkan bagaimana aku tidak menikmati sensasi terkurung bersama mata pelajaran.

Aku tidak membenci ilmu. Aku hanya tidak cocok dengan jembatan yang menyeberangkanku kesana.

Untuk sesaat, bukannya mengerjakan tugas, aku malah duduk termangu menyaksikan setiap sudut ruangan. Memang tidak ada yang salah dengan ruangan yang tengah ku singgahi ini. Tapi, aku hanya heran. Heran bagaimana ruangan ini bisa tampak begitu penuh dan kosong di saat yang bersamaan. Aneh. Mungkin aku yang aneh.

Aku mengedarkan pandanganku ke bagian utara, terdapat dua buah almari pakaian. Yang satu merupakan almari berwarna coklat tua, lalu satunya dengan warna coklat muda. Almari berwarna coklat muda itu milik adikku. Ia masih kecil, belum memiliki kamar sendiri, jadi almari itu ditaruh di kamarku. Sedangkan, yang coklat tua itu milikku.
Di atas almari itu bertengger dua koper, yang entah sampai kapan akan tetap di sana. Agaknya koper-koper itu sudah cukup berumur. Pasalnya, warna koper itu tidak lagi terlihat cerah, bukan pula pudar, lebih seperti usang. Mungkin ia terlalu lama menunggu seseorang untuk menciptakan kenangan baru dengannya, sehingga kini hanya debu dan makhluk kecil pembuat jaringlah yang menjadi temannya di atas sana.

Aku melihat angka yang tertera di hpku. Di sana tertera pukul 1.34, itu artinya sudah setengah jam aku memegang tugasku tanpa melakukan apa-apa. Mendadak jadi malas juga untuk mengerjakannya. Tapi mau bagaimana lagi, tugas adalah tugas. Itu kewajiban yang tidak boleh dilalaikan, bukan?
Aku menghela nafas panjang. Aneh, bagaimana semua pemikiran tidak penting ini lebih banyak menyedot waktu.

Tidak penting?

Sejenak kemudian aku terdiam. Aku mencoba mengoreksi kata-kataku sendiri. Tanpa sadar aku benar-benar mengucapkan dua kata itu, “Tidak penting.” Apanya yang tidak penting?
Sekali lagi, aku mengamati setiap sudut di kamarku. Jika dilihat sepintas, ruangan ini tampak lebar karena semua perabotnya merapat ke dinding. Ada banyak barang yang sebenarnya tidak sempat terwujud menjadi ucapan, seperti gulungan kertas di atas koper itu.
Aku sadar, semua benda itu tidak mungkin di sini tanpa suatu alasan khusus. Dimana aku sadar setiap benda memiliki memori, dan tujuan tersendiri.

Kini, aku mengerti apa yang berbeda dari ruangan ini. Yakni ikatan. Ikatan jiwa yang menyatukan majikan dan benda miliknya. Selayaknya seseorang yang enggan mengganti sepeda lamanya dengan yang baru, sebab ia sudah lama bersamanya. Aku pun begitu.
Kadang aku takut untuk tahu kalau suatu hari nanti aku akan merindukan saat-saat aku berada di ruangan ini. Sampai-sampai, aku lupa untuk menghabiskan waktu untuk diriku sendiri, di ruangan ini. Sayangnya waktu untuk diri sendiri itu semakin lama semakin terkuras. Bahkan kadang seseorang akan kehabisan akal ketika ia sudah benar-benar mendapatkan waktu yang ia inginkan.

Well, sesekali mengingat masa lalu pun tidak ada salahnya. Bukankah masa lalu yang membuat seseorang seperti apa dia sekarang. Karena keputusannya di masa lalu lah ia menjadi seseorang yang sekarang. Bahkan masa sekarang pun kelak akan menjadi masa lalu bagi masa depan. Rumit sekali.
           
            Apakah kau juga begitu, kamar? Akankah kau merasa kesepian seandainya tidak ada seorangpun yang menginjakkan kakinya?
Hahaha, mungkin ganjil, jika kutujukan ini padamu. Namun ketahuilah, seperti itulah manusia. Sedikit aneh jalan pemikirannya, tapi ia selalu memiliki tujuan di setiap tindakannya. Walau kada

0 komentar:

Posting Komentar