Half Clown
"Hey,
Elise! Tahu tidak kalau hari ini aku akan mengikuti..." Dan bla bla
bla seterusnya. Itu yang selalu kudengar setiap hari, tanpa terkecuali. Aku
lelah menjadi penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku bahkan sudah muak
dengan semua yang kalian lakukan. Tak bisakah kalian biarkan aku sendiri?
Kumohon
berhentilah...
Tapi
permohonan seperti itu adalah sia-sia. Mereka tidak akan membiarkanku sendiri,
sekeras apapun aku mencoba. Seolah dunia ikut bersekongkol untuk tidak
membiarkanku mendapatkan sedikitpun ketenangan.
Ketika
jam pelajaran telah usai, aku pergi mengelilingi sekolah tanpa tujuan.
Sebenarnya ingin sekali aku membeli makanan di kantin, tapi aku tidak memiliki
uang untuk itu. Saat melewati koridor sekolah, ada sebuah papan pengumuman yang
di sana terdapat banyak sekali poster dan beberapa informasi yang ditempelkan
guru. Sejujurnya aku tak pernah benar-benar tertarik untuk berhenti, sampai aku
memandang secarik poster di papan pengumuman. Gambarnya tampak menarik, aku
ingin tahu apakah isinya pun semenarik itu.
Aku
mulai mengedarkan pandanganku dari satu sudut ke sudut yang lain. Mencerna
setiap kata yang tertera apik di sana. Sebuah olimpiade tentang bahasa inggris.
Aku belum pernah tahu tentang olimpiade serupa. Mungkin ada baiknya aku mencoba
untuk ikut.
"Hey,
Elise!" Sapa seseorang yang tak lain adalah Marry. "Apa ini? Lomba
bahasa inggris? Ah, mendadak aku ingin mengikutinya!"
Dia
lagi. Marry selalu menghampiriku yang sedang mengamati sesuatu. Akan
menyenangkan kalau dia hanya bayangan, tetap diam tanpa perlu kuperhatikan.
"Kau
bisa mengikutinya kalau kau mau. Lagipula ini untuk umum." Balasku.
"Kau
benar! Peluangnya pasti besar!"
Peluang?
Sunggguh hanya itukah yang ada di pikiranmu? Yah, bukannya aku peduli, hanya
saja tolong jangan membicarakan peluang di depanku. Aku membenci itu. Tidak,
aku bahkan membenci semua yang akan kau katakan setelah ini atau mungkin
sebelumnya. Aku bahkan sedang tidak ingin di sampingmu. Bisakah kau pergi?
"Hey, mau kemana?" Tanya Marry.
Tidak berguna. "Ke suatu tempat." Jawabku.
Dia
pasti mengikutiku. Lalu pertunjukan di mulai. "Tahu tidak, di rumah tadi
sebelum berangkat, aku..." Lebih tepatnya cerita pun di mulai. Hey,
bolehkah aku menyumbat telingaku? Aku tidak ingin otakku menjadi ensiklopedia
dari riwayat hidupmu. Tapi apa yang bisa kulakukan? Aku tidak ingin menyakiti
seseorang. Lagipula, aku tidak yakin kau akan mau mengerti jikapun aku
menjelaskannya. Bukankah kau selalu begitu? Menganggap kata-kataku tidak
terlalu penting, entah kau sadar ataupun tidak.
"Apa
kau marah padaku? Biasanya kau selalu tersenyum. Ah, aku benci ketika mood kamu
seperti itu. Kau selalu seperti itu!" Ucap Marry.
Selalu
seperti itu? Lucu sekali. "Tidak, tidak. Aku hanya sedang sariawan.
Terlalu sering tersenyum membuatnya jadi perih." Balasku seenaknya.
...
Keadaan
di rumah tidak jauh berbeda, malah jauh lebih buruk. Namun meski begitu, aku
lebih suka berada di sini sebab dengan begitu aku bisa mengunci diri.
"Ibu,
Ayah, aku pulang!" Ucapku.
Tak
ada suara, tak ada apa-apa. Seperti yang kuduga, di rumah tidak ada orang. Atau
mungkin mereka memutuskan untuk pergi? Oh, kapan mereka pergi? Akhirnya mereka
pergi juga, eh? Bukan kejutan.
"Tak
ada buruknya." Gumamku.
Aku
pergi ke kamar. Ah, sejak kapan ruangan sempit ini terasa semakin sempit,
walaupun tidak ada banyak barang. Hanya ada almari di sudut ruangan, dan meja
belajar yang di atasnya terdapat cermin sedang. Aku jarang menggunakannya.
Cermin itu memperlihatkan bayangan diriku yang tampak begitu menyedihkan, dan
aku benci melihatnya.
Suasana
yang begitu menenangkan ini kumanfaatkan untuk tidur, melepas semua beban yang
menggelayuti tubuh. Namun sebelum itu, aku menyumbat telingaku dengan headset,
lalu memutar mp3 hingga tertidur. Hanya itu yang bisa kulakukan saat ini. Tidak
ada yang lain.
Tuhan, kumohon, bawa aku pergi...
Tuhan
sangat baik, Ia mendengar do'aku. Ia membawaku pergi ke dunia mimpi yang indah.
Tempat yang sangat ingin kutinggali. Tapi sayangnya itu tidak berlangsung
lama.
Suara
keras pintu yang seperti didobrak itu membangunkanku. Dengan berat hati, aku
keluar dari kamar untuk melihat siapa itu.
"Ibu
kau sudah..."
"Diam!
Masuk ke kamarmu dan lakukan apapun yang kau mau!" Makinya.
Oh,
itu cara yang kasar sekali, bu. Kalau kau tidak suka kusambut, baiklah, tak
apa. Katakan saja, dengan begitu mungkin aku tak perlu menyambutmu lagi jika
benar itu yang kau harapkan.
"Aku
akan di kamar jika kau butuh." Kataku kemudian, sambil menutup pintu.
Jika kau butuh...?
Bukankah
itu kata sederhana yang sebenarnya menyakitkan?
Tak
lama setelahnya, dobrakan pintu kedua terdengar. Itu pasti ayah, terdengar
sangat jelas. "Pertunjukan di mulai." Kataku pelan.
Ayah
dan ibuku bertengkar lagi. Mereka selalu bertengkar. Ada banyak hal yang mereka
pertengkarkan. Terlalu banyak, hingga aku tak ingin membahasnya sekalipun.
Walau kadangkala aku penasaran apakah mereka sadar bahwa aku ada di sini,
mendengar semua yang mereka pertengkarkan, menjadi saksi bisu atas segala
pertikaian. Sejujurnya jika mau, mereka bisa bercerai, membuangku,
menelantarkanku dimanapun dan kapanpun. Tapi, kenapa mereka menahanku di sini?
Jika diminta untuk pergi, dengan senang hati aku tidak akan menginjakkan kakiku
lagi di rumah ini. Jadi kenapa aku ditawan di sini? Aku lelah. Aku lelah menjadi
penonton, aku lelah menjadi pendengar, aku lelah menjadi saksi bisu atas semua
yang orang-orang lakukan. Aku lelah menjadi semua itu, aku lelah untuk
berpura-pura aku tidak ada, aku lelah untuk marah, bahkan aku terlalu lelah
untuk menangis. Sungguh aku sudah lelah.
Sebagai
pelarianku dari kenyataan, aku selalu pergi mengunjungi khayalanku. Aku menulis
semua cerita khayalan itu, bahkan membuat beberapa gambar, dan merancang
sendiri sampulnya. Jika ini bisa membuatku merasa lebih baik, kenapa tidak?
Toh.. ini lebih baik daripada mengumbar aib pada buku harian. Lebih baik daripada mengoceh tak karuan lewat surel, blog atau.. entahlah. Masa bodoh dengan semua itu.
Betapa menyedihkan.
Toh.. ini lebih baik daripada mengumbar aib pada buku harian. Lebih baik daripada mengoceh tak karuan lewat surel, blog atau.. entahlah. Masa bodoh dengan semua itu.
Betapa menyedihkan.
...
Di sekolah...
Untuk pertama kalinya setelah sekian
lama, aku menganggap dunia ini tidak adil.
“Maaf
Nak, kuota untuk sekolah kita sudah habis dan pendaftaran ditutup
kemarin." Jelas ibu guru.
"Oh,
tidak apa-apa, ibu. Hahaha, salah saya karena sangat lambat."
Olimpiade
yang selalu ingin kuikuti, lagi-lagi gagal kuikuti. Tuhan, katakan padaku kalau
memang bukan ini jalan yang harus kutempuh. Tolong katakan bahwa aku masih
punya kesempatan. Katakan bahwa semua akan baik-baik saja. Setidaknya itu akan
menghiburku.
Aku
menggambar senyum di jariku. Berpura-pura bahwa itu Elsie, salah satu tokoh dalam
duniaku yang lain. Khayalanku. Dialah yang jadi penghibur untukku sejauh ini.
Mungkin satu-satunya teman yang kumiliki dan yang kubutuhkan selama ini.
Jangan khawatir Elise. Aku akan
menemanimu selalu. Tak perlu khawatir. Kalau waktunya datang, kesempatan yang
sama pasti datang.
Sebut
aku gila, karena mungkin aku memang sudah mulai kehilangan kewarasanku.
"Elise!"
Panggil Marry yang mendadak muncul entah darimana. "Aku jadi ikut
olimpiade yang kemarin!" Lalu bla bla bla, seperti itu lagi.
"Bersama
Caroline." Ucapnya.
Apa?!
"Agak
menyebalkan sih kalau dia ikut. Tapi daripada quotanya tidak penuh, jadi aku
mengajaknya. Hehehe. Akui saja aku memang sangat pandai membujuk orang."
Kau
memilih mendaftarkan Caroline yang sebenarnya tidak begitu tertarik? Jadi
begitu. Selalu membanggakan diri dan.. kau sudah seperti mengambil alih hidupku
yang sudah nyaris tak berharga ini. Bagus. Sejauh inikah kau ingin menunjukkan
betapa tidak bergunanya aku? Aku paham.
Jantungku
berdegup kencang, ada sesuatu yang mengganjal di dada. Tuhan, apakah ini yang
namanya sakit yang tak lagi terbendung? Terasa lebih menyakitkan dari biasanya.
Tapi untuk menyembunyikan semuanya, aku tersenyum lebar. Berpura-pura untuk
menjadi seperti orang gila, atau orang gila yang mengaku tidak gila. Yang
manapun itu.
"Hahahaha..."
"Elise,
apa yang kau tertawakan?" Tanya Marry.
Huh?
Aku tertawa?
"M-maaf,
mendadak aku teringat film komedi yang kutonton kemarin malam."
"Dasar
kau..."
"Jadi,
Marry, aku akan pulang lebih dulu. Sampai nanti."
...
Elise...
"Elsie?"
Kenapa kau melarikan diri?
"Aku
tidak melarikan diri. Aku hanya menyadari tempatku, dan pergi."
Pembohong
"Oh ya, aku memang pembohong. Aku
hanya pembohong yang kini menjadi seorang badut. Karena sekarang aku tidak tahu
apa lagi yang harus kulakukan selain tersenyum dan tertawa."
Semua akan baik-baik saja.
"Elsie,
ingin sekali aku ikut ke duniamu. Mungkin kita bisa melakukan sesuatu bersama.
Mungkin bercengkerama bersamamu, teman-temanmu, dan keluargamu. Hahahaha... aku
ingin tahu bagaimana mereka akan berpikir tentangku. Mungkin payah, bodoh, atau
tidak berguna? Haha.."
Elise, hentikan!
"Maaf,
aku tidak bisa berhenti. Hahahaha... sangat aneh, sangat aneh.. hahahaha!"
Elise sadarlah..
Elise hentikan!
Elise!
Elise!
Erh..
"Apa
yang kau lakukan, Elise? Cepat bangun! Ini sudah waktunya sarapan, bodoh!
Harusnya kau sudah menyiapkan sarapan! Kenapa kau ini." Bentak Ibu.
Ternyata
mimpi. Padahal akhirnya aku bisa berbicara banyak dengan Elsie. Dengannya yang
terlihat seperti manusia sungguhan, tidak seperti sosok palsu. Tidak seperti
ayah, ibu, Marry, ataupun yang lainnya, iya kan Elsie?
Aku
menganggukkan kepalaku. Kemudian tersenyum tanpa kusadari.
Tiba-tiba, Plak!
Ibu
menamparku dengan kerasnya. Oh, sepertinya kali ini akan meninggalkan bekas.
"Apa
yang kau lamunkan, ha? Cepat pergi ke ruang makan, sekarang!" Perintah ibu
yang kemudian berbalik memunggungiku.
“Ibu,
apa kau ibuku?” tanyaku tiba-tiba. Ibu tak pernah melihatku dengan tatapan
senang, aku ingin tahu kenapa. Aku juga tidak tahu kenapa ibu selalu bertengkar
dengan ayah, kenapa keduanya jarang pulang, kenapa keduanya terlihat berbeda,
kenapa keduanya semakin lama terlihat semakin asing, bahan aku tidak tahu
kenapa aku begitu dibenci. Sudah lama pertanyaan itu terpendam jauh di dasar
jiwa. Tapi setiap kali aku menimbunnya, pertanyaan itu tidak semakin hilang
justru mengganjal seperti duri. Aku tidak kuat memendamnya lagi, kali ini aku
ingin tahu.
Ibu
mengernyitkan dahinya, sedikit iba ia memandangku. Mungkin untuk pertama
kalinya ia mau membuka hatinya sedikit untukku?
Sayangnya
aku salah. “Diam kau! Hal-hal seperti itu bukan urusan anak kecil!” bentaknya.
“Bu,
tidak tahu denganmu, tapi aku merasa kau bukan ibuku.” Gumamku pelan.
Setidaknya itulah yang kuyakini hingga saat ini, meski belum ada bukti yang
meluruskan keyakinan itu.
“Kau
mengatakan sesuatu bocah tengil? Jangan buat aku marah dengan segala macam
tingkah bodohmu!” bentaknya lagi. “Sekarang cepat buatkan sarapan!”
"Hahaha,
iya, ibu. Maafkan kebodohanku." Jawabku.
Ibu
sempat memandangiku sinis sebelum meninggalkanku.
Dunia yang aneh. Tuhan, apa aku kurang berusaha? Sepertinya semua tidak kunjung membaik.
Dunia yang aneh. Tuhan, apa aku kurang berusaha? Sepertinya semua tidak kunjung membaik.
Aku
keluar dari ruang pengasinganku. Berbenah diri, lalu memasakkan sesuatu untuk
orangtuaku. Bukan sesuatu yang istimewa, tapi cukup untuk membuat perut berhenti
meronta. Sambil terus memasak, pikiranku terus melayang ke berbagai tempat.
Aku mungkin tidak tahu bagaimana awal
dari segalanya, tapi aku tahu kalau semua ini harus berakhir.
...
"Makanan
sudah siap!" Ucapku begitu selesai menyiapkan makanan.
"Ibu,
aku..."
"Pergi
saja! Tak usah pamit segala. Lagipula kau sudah tidak dibutuhkan di sini."
Potong Ibuku sambil memaki dengan suara yang keras.
Padahal
bukan itu yang kumaksud. Aku hanya ingin tahu apakah aku bisa makan bersama
kalian. Tapi sudahlah.
Aku
mengangguk, lalu tersenyum. Kemudian menengok ke ayah. Barangkali dia akan...
"Cepatlah
pergi, dasar anak tidak berguna." Ucapnya penuh kebencian. Ouh, sepertinya
mereka sedang tidak ingin aku di dekatnya.
Sama
seperti biasa, ayah dan ibu memberiku uang. Namun kali ini nominalnya lebih
besar, sepuluh ribu yen masing-masing. Mungkin dia ingin aku bermain sepuasnya
sampai petang. Hahaha... aku tahu, mereka hanya tidak ingin diganggu. Pekerjaan
mereka pasti berat sekali. Aku yang menyedihkan ini tidak boleh terlalu
menyusahkan keduanya.
"Terimakasih,
aku pergi."
...
Aku
berjalan gontai menuju mini-market langgananku yang letaknya di seberang sungai.
Itu artinya aku harus melewati jembatan itu. Ah, fisikku agaknya mulai
melemah, di tambah perut yang terus meronta-ronta. Rasanya sangat.. entahlah.
Aku tidak tahu, dan aku kembali tertawa kecil.
Aku
memang belum makan apapun sejak dua hari yang lalu, selain dua mie instant.
Mungkin selama ini aku terlalu banyak makan mie? Hahaha, sudahlah, yang penting
makan. Lagipula ayah dan ibu enggan makan bersamaku. Keduanya pasti cepat pergi
ketika selesai, seolah mereka hanya singgah di warung kecil untuk makan saja.
Tidak lebih. aku sendiri jarang berkesempatan memakan masakanku sendiri. Terdengar
konyol memang.
Persediaan
makanan tidak cukup untuk kami bertiga. Jadi untuk menghematnya, aku sengaja
mengurangi porsiku sedikit demi sedikit. Selain itu, mereka pun jarang pulang
ke rumah sehingga aku tidak punya uang. Mini-market langgananku itu sebenarnya
juga tempatku bekerja paruh waktu. Tapi begitu ayah mengetahuinya, aku terpaksa
harus berhenti. Katanya tidak pantas orang sepertiku bekerja sambilan. Tidak
berguna, bodoh, payah, dan menyusahkan. Membuat malu nama keluarga. Mau
bagaimana lagi, aku tidak bisa mendebat ayahku.
"Elsie,
kenapa perjalan ke mini-market mendadak begitu sulit seperti ini?"
Bertahanlah Elise. Tak apa, aku selalu
di sampingmu. Jangan khawatir. Nanti setelah sampai di sana, sebaiknya kau
membeli sesuatu untuk dimakan.
Kuharap
begitu. Tapi aku mendapat firasat buruk. Sepertinya aku tidak akan sampai ke
tempat manapun.
Firasatku
benar. Seseorang yang mengendarai sepeda motor mencuri tasku dengan paksa.
Membuat fisikku yang lemah ini semakin tak bisa menjaga keseimbangan, dan
akhirnya jatuh ke sungai yang kebetulan alirannya cukup deras.
Arus
membawaku pergi. Di tambah tubuhku yang terasa begitu lemah, aku bahkan tidak
punya kekuatan untuk menepi.
Elise!
Elise!
"Jangan khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, tenang."
"Jangan khawatirkan aku, Elsie. Aku akan baik-baik saja, tenang."
Tapi kau bisa mati!
"Bukankah
sejak awal aku tidak pernah ada? Tidak dianggap, lebih tepatnya."
Elise!
Kau
bahkan hanya sebuah khayalan, Elsie. Khayalan dari diriku yang menyedihkan ini.
Meski begitu, entah kenapa aku merasa cukup bahagia.
"Hey,
kalau aku bisa ke duniamu, ayo kita main?"
Aku
memandang sosok khayalanku, Elsie, di atas jembatan. Setelah kupikir-pikir,
sosoknya hampir menyerupaiku. Sosoknya semakin lama semakin kabur dan menjauh.
Sial,
kesadaranku mulai menghilang.
Tubuhku
hanyut bersama arus sungai kecil ini. Meski begitu aku masih saja tersenyum dan
tertawa seolah tidak ada yang terjadi. Ah ya, benar...
Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
Sebut aku gila atau apa, karena mungkin aku memang sudah kehilangan kewarasanku.
Kemudian
setelah itu, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku memejamkan mata. Biarlah
arus membawaku pergi, hilang dari muka bumi.
0 komentar:
Posting Komentar