Ada tugas Bahasa Indonesia suruh bikin cerpen yang mendeskripsikan kamar, jadinya malah amburadul seperti ini.. hahah, ya sudahlah.
-------------
Tengah malam. Batinku.
Lagi-lagi aku terbangun ketika semua orang masih asyik berkelana di dunia
mimpi.
Sebuah helaan nafas
panjang bercampur frustasi meloncat keluar dari mulutku. Lagi-lagi aku harus
mematikan alarm hpku yang belum sempat berbunyi. Aku bahkan belum menyelesaikan
mimpiku, itupun kalau aku bermimpi. Tunggu dulu, aku tidak ingat ada suatu
cuplikan ajaib yang sempat mampir di alam bawah sadarku. Itu artinya...
Ah,
sudahlah. Tidak penting.
Aku
melihat sekitarku, kemudian mendapati dua sosok manusia yang tengah tertidur pulas
beralaskan karpet. Mereka ibu dan adikku. Hey, tidakkah raut muka ibu terlihat
begitu damai? Sesuatu yang jarang menghias wajahnya ketika berada di dunia
nyata. Mungkin pada akhirnya dunia mimpi benar-benar menjadi tempat pelarian dari
kejamnya realita. Kadang kupikir hal itu sedikit ironis. Tapi, kenapa tidak jika
itu bisa mengurangi beban yang selama ini menggelayuti hati dan pikiran.
Aku
beranjak dari kasur biru yang seharusnya menjadi tempat tidur adik kecilku.
Kasur biru yang berada di ruang keluarga ini sejatinya merupakan kasur yang
diperuntukkan pada pasien.
Benda ini sudah menjadi
salah satu penghuni rumahku sejak dua tahun yang lalu, semenjak ayah mendapat
musibah. Entah berapa kali sudah kasur ini keluar-masuk gudang. Tapi yang
jelas, kasur ini akan terus menjadi bagian dari rumah ini. Setidaknya sampai
Tuhan berkehendak lain.
Sebenarnya, kasur ini
hanya akan keluar dari gudang ketika seseorang sedang sakit. Itupun jika
sakitnya dianggap cukup serius. Wajar saja, orang sakit membutuhkan istirahat
ekstra. Satu-satunya hal yang membuat benda ini tidak segera kembali ke gudang tidak
lain karena benda ini sangat nyaman untuk dijadikan tempat tidur di depan Tv.
Aku kembali menghela
nafas.
Kasihan betapa adikku
harus tidur di karpet. Kakak macam apa aku ini. Pikirku. Mungkinkah tadi ibu
pun tak tega membangunkanku yang sudah terlelap bersama lembaran-lembaran tugas
di sampingku yang hampir tak terjamah? Tunggu sebentar...
“Tugas?” gumamku
setengah panik. Bukankah itu alasan kenapa aku terbangun?
...
Sebuah gagang pintu
kuraih. Ckreeek! Suaranya tidak merdu,
tapi setidaknya tidak berisik. Ruangan yang hanya berukuran 3 x 3 m2
itu tampak berbeda untuk suatu alasan. Berbeda bukan dalam artian aneh,
melainkan asing.
Tembok bercat hijau itu
masih tampak sama, lantai keramik berwarna abu-abu, juga tirai biru berukuran
sedang telah lama menggantung menutupi jendela yang sisi lainnya berbatasan
langsung dengan meja makan. Aku bahkan tidak mengerti kenapa jendela itu ada di
sana, di sebelah timur, dimana sinar matahari tetap kesulitan untuk mengunjungi
ruangan yang notabene menjadi
kamarku.
“Lantas apanya yang
berbeda?” ucapku pelan.
Aku duduk di atas kasur
tanpa bingkai penyangga. Letak kasur itu di timur, tepat di bawah jendela
dengan posisi horizontal menghadap
utara-selatan. Kasur itu tidak begitu besar, mungkin sekitar 80 x 200 cm. Cukup
untuk satu orang. Lalu di kirinya terdapat meja belajar dengan tumpukan buku di
bawahnya. Buku itu sudah menumpuk agak lama, entah karena tidak muat, atau aku
yang malas menjejalkannya di rak yang hampir membeludak. Ah, sama saja,
kupikir.
Meja itu tertutup oleh
kain hasil membatik dengan kawan-kawan. Warnanya biru pudar, dengan garis putih
membentuk pola sederhana. Terlihat sedikit absurd, kalau boleh kukatakan.
Aku jarang memakai meja
belajar itu, sebab aku tidak terbiasa duduk tenang di kursi sambil belajar. Aku
lebih suka belajar di ruang tamu, atau di ruang keluarga yang ada TVnya. Mungkin
permasalahan sebenarnya bukan pada bagaimana aku tidak terbiasa duduk tenang di
kursi, melainkan bagaimana aku tidak menikmati sensasi terkurung bersama mata
pelajaran.
Aku tidak membenci
ilmu. Aku hanya tidak cocok dengan jembatan yang menyeberangkanku kesana.
Untuk sesaat, bukannya
mengerjakan tugas, aku malah duduk termangu menyaksikan setiap sudut ruangan.
Memang tidak ada yang salah dengan ruangan yang tengah ku singgahi ini. Tapi, aku
hanya heran. Heran bagaimana ruangan ini bisa tampak begitu penuh dan kosong di
saat yang bersamaan. Aneh. Mungkin aku yang aneh.
Aku mengedarkan
pandanganku ke bagian utara, terdapat dua buah almari pakaian. Yang satu
merupakan almari berwarna coklat tua, lalu satunya dengan warna coklat muda.
Almari berwarna coklat muda itu milik adikku. Ia masih kecil, belum memiliki
kamar sendiri, jadi almari itu ditaruh di kamarku. Sedangkan, yang coklat tua
itu milikku.
Di atas almari itu
bertengger dua koper, yang entah sampai kapan akan tetap di sana. Agaknya
koper-koper itu sudah cukup berumur. Pasalnya, warna koper itu tidak lagi
terlihat cerah, bukan pula pudar, lebih seperti usang. Mungkin ia terlalu lama
menunggu seseorang untuk menciptakan kenangan baru dengannya, sehingga kini
hanya debu dan makhluk kecil pembuat jaringlah yang menjadi temannya di atas
sana.
Aku melihat angka yang
tertera di hpku. Di sana tertera pukul 1.34, itu artinya sudah setengah jam aku
memegang tugasku tanpa melakukan apa-apa. Mendadak jadi malas juga untuk
mengerjakannya. Tapi mau bagaimana lagi, tugas adalah tugas. Itu kewajiban yang
tidak boleh dilalaikan, bukan?
Aku menghela nafas
panjang. Aneh, bagaimana semua pemikiran tidak penting ini lebih banyak
menyedot waktu.
Tidak penting?
Sejenak kemudian aku
terdiam. Aku mencoba mengoreksi kata-kataku sendiri. Tanpa sadar aku
benar-benar mengucapkan dua kata itu, “Tidak penting.” Apanya yang tidak
penting?
Sekali lagi, aku
mengamati setiap sudut di kamarku. Jika dilihat sepintas, ruangan ini tampak
lebar karena semua perabotnya merapat ke dinding. Ada banyak barang yang
sebenarnya tidak sempat terwujud menjadi ucapan, seperti gulungan kertas di
atas koper itu.
Aku sadar, semua benda
itu tidak mungkin di sini tanpa suatu alasan khusus. Dimana aku sadar setiap
benda memiliki memori, dan tujuan tersendiri.
Kini, aku mengerti apa
yang berbeda dari ruangan ini. Yakni ikatan. Ikatan jiwa yang menyatukan
majikan dan benda miliknya. Selayaknya seseorang yang enggan mengganti sepeda
lamanya dengan yang baru, sebab ia sudah lama bersamanya. Aku pun begitu.
Kadang aku takut untuk
tahu kalau suatu hari nanti aku akan merindukan saat-saat aku berada di ruangan
ini. Sampai-sampai, aku lupa untuk menghabiskan waktu untuk diriku sendiri, di
ruangan ini. Sayangnya waktu
untuk diri sendiri itu semakin lama semakin terkuras. Bahkan kadang seseorang
akan kehabisan akal ketika ia sudah benar-benar mendapatkan waktu yang ia
inginkan.
Well,
sesekali
mengingat masa lalu pun tidak ada salahnya. Bukankah masa lalu yang membuat
seseorang seperti apa dia sekarang. Karena keputusannya di masa lalu lah ia
menjadi seseorang yang sekarang. Bahkan masa sekarang pun kelak akan menjadi
masa lalu bagi masa depan. Rumit sekali.
Apakah
kau juga begitu, kamar? Akankah kau merasa kesepian seandainya tidak ada
seorangpun yang menginjakkan kakinya?
Hahaha, mungkin ganjil,
jika kutujukan ini padamu. Namun ketahuilah, seperti itulah manusia. Sedikit
aneh jalan pemikirannya, tapi ia selalu memiliki tujuan di setiap tindakannya.
Walau kada
0 komentar:
Posting Komentar