Contoh Text Drama Agama
Tema : Fathonah (Cerdas) : Dalam Menghadapi Masalah
SCENE 1
Sekali lagi
sebuah piala bertuliskan Juara 1 di bawahnya telah Dita sumbangkan ke sekolah.
Prestasinya seolah semakin membaik, kendatipun kini ia sudah duduk di bangku
kelas 12. Membuat semua teman-temannya semakin berdecak kagum, termasuk Cecil
yang merupakan sahabat baiknya sejak SMP.
(saat memasuki kelas)
Cecil :
“Wah, Dit, lama-lama sekolah bisa jadi museum penghargaan kalau begini!”
Dita :
“Heh? Kok bisa?”
Cecil : “Ya, bisa. Habisnya lemari
sekolah isinya full piala-piala dari
kamu.” (duduk di bangkunya sambil cengengesan) “Jadi heran, kok bisa ya ada
siswa yang super jenius kayak kamu.”
Dita : “Haha, jenius apanya, Cil?
Itu kan cuma piala. Kalau tiba-tiba aku bisa menemukan rumus baru matematika
atau fisika atau kimia, baru deh kamu boleh panggil aku jenius. Hehe.”
Cecil : “Dih.” (memandang dengan
tatapan setengah tak percaya) “Oke, fix! Kamu cocok kok jadi cucu Einstein.”
Dita : “Cucu Einstein dari hongkong?
Ada-ada saja kamu ini. Lagipula, aku yakin nanti pasti kamu juga bisa
menyumbangkan piala kamu sendiri, kok. Yang penting kamu harus tekuni bidangmu
dan belajar yang rajin.”
Cecil : “Halah, halah, piala darimana?
Dapat nilai 85 aja udah paling mentok. Yah, sepertinya saya forever ngenes yak?
Dita : “Heeh... (menepuk bahu Cecil)
Ucapan itu do’a loh. Kalau kejadian beneran bukan salahku loh ya. Itu kan
do’amu.”
Cecil : “Ih, naudzubilah!”
(mengetuk-ngetukkan tangan ke meja) “Oh ya, Dit!” (tersadar) “Hari ini kan
waktunya Fisika, tolong ajarin aku ya. Aku nggak paham soal torsi dan inersi.”
Dita : “Oke.”
Sementara
Cecil dan Dita sedang belajar Fisika, di bangku paling belakang, Roni, Brian,
dan Satria sedang asyik bercanda ria sambil memutar musik dengan volume keras. Ketiganya
terus bercanda dengan suara keras, tanpa mempedulikan teman-teman yang lain yang
sedang belajar.
Awalnya
Cecil tidak keberatan, tapi lama-lama ia merasa muak juga. Suara musik yang
keras itu membuat konsentrasi Cecil pecah. Akibatnya, ia tidak bisa menangkap
semua penjelasan Dita.
Cecil :
(setengah berteriak) “Oi! Matiin musiknya! Ganggu belajar, tahu nggak?”
Roni : “Apa?!” (meledek) “Eh, Bro,
kayaknya ada orang ngomong tadi. Kamu denger nggak?”
Brian : (melirik sejenak sambil sibuk
main laptop) “Setan lewat kali.”
Roni : “Kalo lu, Sat? Denger
sesuatu?”
Satria : “Enggak.” (sambil ngegame)
“Kerasin dikit gih, musiknya. Nggak seru.”
Roni : “Oke, oke.”
Cecil : “Wooyy!!! Ini ada orang lagi
belajar! Kecilin dikit kenapa sih?”
Dita : “Ssst... Cecil! Udah, biarin
aja mereka.”
Cecil : “Hah, biarin? Orang kayak
gitu?” (kaget) “Emang kamu nggak keganggu sama musik yang bising nggak mutu
kayak gitu?”
Dita : “Keganggu sih, tapi...”
Satria : “Noh, si Jenius aja biasa aja.
Kok lu enggak?”
Cecil : “He? Kamu ngatain aku nggak
pinter gitu?”
Satria : “Enggak sih.” (acuh tak acuh)
Brian : “Bukannya kamu sendiri ya yang
ngaku?” (masih berkutat pada laptopnya)
Cecil : “Astaghfirullahal’adzim! Ini
anak... Gini-gini ”
Dita : “Cil, udah. Udah, jangan
diterusin. Nggak penting.”
Brian :
“Nah, itu tahu. Kenapa masih diladenin?”
Roni :
“Gitu katanya mau jadi Cucu Einstein? Wes... wes...” (tertawa meledek)
Cecil :
(ngomel ke Dita)
Beberapa
saat kemudian, tiba-tiba Bu Fira yang tak lain adalah guru mata pelajaran
__________ pun masuk ke kelas.
Bu Fira :
“Pagi, semua.”
Murid-murid : “Pagi,
Bu!”
Bu Fira :
(tersenyum) “Tumben kok semangat sekali.”
Roni : (ndumel) “Semangat salah,
enggak juga salah. Ckckck, gimana sih, bu?!.”
Bu Fira :
“Ya, bukan begitu maksudnya.”
Roni, Brian,
dan Satria di belakang terus bersenda gurau di bangku paling belakang. Rupanya
mereka bertiga ini tidak merasa sungkan untuk melakukan hal-hal yang sering
membuat orang lain kesal, kendati itu gurunya sendiri. Namun beruntunglah kali
ini guru yang mengajar adalah Bu Fira, guru baik hati yang murah senyum.
Bu Fira : (menulis sesuatu di papan) “Ayo,
anak-anak, siapa yang bisa menjelaskan apa yang saya tulis di papan ini?”
Roni : “Saya,
bu. Saya tahu!”
Bu Fira :
“Ah, ya, Roni. Tumben sekali.” (tersenyum) “Jadi, kamu tahu?”
Roni :
“Iya, bu. Saya tahu kalau saya tidak tahu jawabnya.”
Brian dan Satria : (tertawa)
Bu Fira :
“Ya sudah, ada yang lain?”
Dita :
“Saya bisa, bu!”
Bu Fira :
“Baiklah, Nak Dita, silakan maju dan menerangkan.”
Dita :
“Baik bu.” (bangkit dari tempat duduk)
Selesai
menerangkan, Dita kembali dipersilakan duduk. Diiringi dengan tepuk tangan yang
menggema dari siswa-siswi yang lain.
Brian :
“Gitu aja pakai tepuk tangan.”
Satria :
“Berasa artis kali? Hahaha...”
Roni :
“Betul tuh. Jangan-jangan nanti malah sombong.”
Cecil :
“Kalian bertiga bisa diam enggak?!”
Satria :
“Kalau enggak kenapa?”
Cecil : (kesal) “Kalau enggak ya
keluar sana! Nggak usah di kelas, merusak pemandangan kelas. Tahu enggak?!”
Brian : “Sukurin lu Bro, dimarahin.”
(meledek)
Roni : “Ciaat... cantik-cantik galak
nih ye.” (tertawa bersama Brian dan Satria)
Cecil : (semakin kesal)
Bu Fira : (menengahi) “Sudah, sudah.
Bercandanya nanti lagi, sekarang waktunya pelajaran. Bagaimana, Cecil?”
Cecil : “Iya, Bu. Maaf.”
Pelajaran
pun kembali dilanjutkan. Di kelas, Roni, Brian, dan Satria masih sempat membuat
onar di kelas. Namun berhubung Bu Fira sendiri sudah kewalahan untuk menasehati
mereka, akhirnya beliau memutuskan untuk membiarkannya saja.
SCENE 2
Jam
pelajaran berganti. Dimana kali ini waktunya pelajaran Bu Rena, pelajaran
bahasa Inggris. Pelajaran yang tidak begitu disukai semua murid karena dianggap
membosankan.
Saat hendak
ke kelas XII____, Bu Rena sempat berpapasan dengan Bu Fira. Beliau tampak lesu
sekali, membuat Bu Rena penasaran.
Bu Rena : “Ada
apa, bu? Habis mengajar kok tampak lesu begitu?”
Bu Fira : “Iya ini bu, saya merasa pusing
dan kewalahan sendiri kalau disuruh mengajar di kelas XII____. Susah diajari.”
Bu Rena : “Loh, bukannya kelas XII____ muridnya
pintar-pintar dan menurut tho bu?”
Bu Fira : (menghela nafas) “Menurut apanya
loh bu, bikin onar iya. Ituloh, tiga anak yang suka duduk di belakang itu. Jadi
pusing gimana harus menasehati mereka. Mau dimarahin juga nggak tega.”
Bu Rena : (tertawa segan) “Iya sih, bu. Tapi
kayaknya dimarahin saja juga nggak mempan, bu, soalnya dulu pernah saya tegur
tapi ya cuma kapok sambal begitu.”
Bu Fira : “Ya sudahlah, bu. Mau bagaimana
lagi?” (tersenyum) “Oh ya, saya permisi dulu, bu, mau ke kelas XII____”
Bu Rena : “Iya, bu, mari-mari...”
Saat di kelas...
Bu Rena :
“Good morning, student?”
Murid-murid :
“Morning, ma’am!”
Bu Rena :
“Today, we will learn about...”
Roni :
(menyela) “Bu! Bu!”
Bu Rena :
“Iya, ada apa, Roni?”
Roni :
“Nggak punya jam ya di rumah? Masa jam segini dibilang good morning?”
Murid-murid :
(tertawa)
Brian :
“Hush! Jangan gitu, nggak sopan.”
“Maklum, guru itu kan orang berilmu yang
usianya udah nggak muda. Barangkali dia mendadak pikun.” (kalem)
Bu Rena : (menghela nafas) “Jadi gini
anak-anak.. Kalau di barat itu, good morning itu digunakan dari kamu bangun
tidur jam 5 sampai kira-kira paling siang itu jam 11. Jadi, kita masih pakai
good morning.”
Satria : “Masa sih, bu? Tapi Indonesia
kan Asia Tenggara, sejak kapan jadi negara barat, bu?”
Cecil : “Udah, bu. Mereka itu jangan
ditanggepin. Lanjutin aja. Nanggepin mereka itu kayak nanggepin anak TK.”
Roni : “Ck, sewot.”
Cecil : “Daripada lu... NGGAK PEN-TING!”
Roni : “Mending nggak penting
daripada nggak ada hubungannya.”
Cecil : “Terus kenapa? Hak-hak siapa
yang komen siapa?”
Dita : “Udah, udah.. kalian ini
kenapa sih bertengkar terus? Udah bu, lanjutin aja pelajarannya. Biarin aja
mereka.”
Bu Rena :
“Hmph... Now, student, about our material today...”
Bu Rena
kembali melanjutkan pelajarannya. Dimana murid-murid yang lain pun
memperhatikan, sambil mencatat apa yang Bu Rena tulis di papan.
Bu Rena :
“Sampai disini ada yang belum paham?”
R+B+S :
(angkat tangan)
Bu Rena : “Baiklah,
mana yang belum paham?”
R+B+S :
(serempak) “Semuanya bu!”
Sedikit
merasa tak habis pikir, Bu Rena kembali mengulang penjelasannya. Namun sepertinya ketiganya belum paham juga.
Sehingga, Bu Rena mengulang penjelasannya, kali ini dengan lebih pelan dan
detail. Lalu, bukannya memperhatikan penjelasan dari Bu Rena, ketiga anak tadi
malah sibuk bermain hp.
Bu Rena : “Aduh, kalian ini katanya belum
paham, kok malah main hp sendiri kalau diterangkan. Niat belajar atau tidak
kalian itu?”
Satria : “Niat sih, bu. Tapi...”
(bel istirahat
berbunyi)
Satria : “Nah, istirahat bu.”
Bu Rena : (geleng-geleng kepala) “Ya sudah,
pertemuan hari ini saya akhiri. Untuk trio anak di belakang, saya beri kalian
tugas mencari contoh dari materi yang kalian pelajari hari ini minimal 25
contoh.”
Brian : “Hah, 25? Yang bener aja, bu?”
(mendengus) “Kejam sekali?”
Bu Rena : “Kebanyakan ya? Ya sudah, saya
kurangi jadi 50. Tidak lebih, tidak kurang. See you next time, anak-anak.
Selamat istirahat.” (keluar dari kelas)
Dita : “Makanya, kalau diterangkan
sama guru itu diperhatikan.”
(Skip)
(Di ruang guru)
Semua guru-guru tampak sibuk dengan
berbagai tugas mereka. Termasuk Bu Fira dan Bu Rena yang tampak serius
mengobrol masalah Roni, Brian, dan Satria.
Bu Fira :
“Gimana bu tadi pas pembelajaran?”
Bu Rena : “Haduh, Bu. Gimana ya? Sepertinya
mengajari tiga anak itu susah deh, bu.”
Bu Fira : “Sama, Bu. Pas jam saya juga
begitu. Tapi sebenarnya menurut saya bukannya mereka kurang pandai atau
bagaimana bu, hanya saja susah sekali membuat mereka mau belajar
memperhatikan.”
Bu Rena : (mengangguk setuju) “Iya, bu. Di
kelas tadi mereka malah main hp.” (menghela nafas) “Saya jadi khawatir, gimana
nasib mereka kalau sudah UN nanti?”
Bu Fira : “Iya juga sih, bu.” (tampak
berpikir) “Coba ada solusi yang bagus.”
(Skip)
Karena
prihatin dengan kondisi Roni, Brian, dan Satria, Bu Fira dan Bu Rena pun
sepakat untuk membantu mereka untuk mencarikan solusi. Awalnya, mereka sempat
berdiskusi dengan guru-guru yang lain. Namun karena banyak guru-guru yang lain
yang juga merasa kewalahan dengan sikap mereka, pada akhirnya Bu Fira dan Bu
Rena membahas masalah ini dengan Ibu Kepala Sekolah.
Bu Fira : “Jadi begitu, Bu, ceritanya.”
Kepsek : “Sudah diskusikan ini dengan Tim Kesiswaan, Bu?”
Bu Fira : “Sudah. Kami sudah diskusikan ini
dengan semua guru yang pernah mengajar di kelas tersebut.”
Kepsek : “Siswa seperti ini berarti harus
diberi ketegasan, Bu. Tidak bisa dengan cara yang lunak.”
Bu Rena : “Sudah, kami sudah beberapa kali
bersikap tegas. Tapi saya rasa di satu sisi itu belum cukup untuk membantu
mereka menjadi lebih baik. Kalau hanya sikap, mungkin dua/tiga hari pasti bisa
berubah. Namun yang kami khawatirkan disini adalah proses belajarnya, bu.
Mereka itu seperti ogah-ogahan dalam
menerima pelajaran.”
Bu Fira : “Betul, Bu. Kalau menurut saya,
permasalahan disini itu bukan karena mereka tidak bisa. Saya yakin sekali,
mereka ini sebenarnya mampu, tapi sayangnya mereka tidak mau berusaha.”
Kepsek : “Iya, ya, padahal sebentar lagi
kelas XII akan menghadapi UN. Jika tidak bisa mencapai nilai standar, mereka
tidak akan bisa melanjutkan ke perguruan tinggi.”
Ketiganya tampak berpikir keras
mencarikan solusi untuk ketiga anak didiknya tersebut. Setelah cukup lama
berpikir, dan berdiskusi, akhirnya ketiganya menarik kesimpulan bahwa solusi
terbaik untuk saat ini mungkin adalah dengan adanya belajar berkelompok dengan
teman sebaya.
Kepsek : “Tutor sebaya bisa jadi solusi
terbaik untuk saat ini, karena teman sebaya selain lebih mudah berkomunikasi,
juga lebih dapat mengerti kondisi dari temannya sendiri. Barangkali seperti
itu, ada yang keberatan?”
Bu Rena : “Tidak, saya rasa itu ide yang
bagus.”
Bu Fira : “Tapi menurut Ibu, siapa
kira-kira yang bisa menjadi tutor sebaya mereka?”
Kepsek : (tampak berpikir sejenak) “Oh ya,
bukannya Dita Anggraini, anak yang sangat cerdas itu juga murid kelas XII______
?
Bu Rena : “Iya betul. Tidak hanya cerdas, dia
termasuk anak yang sopan.”
Kepsek : “Nah, itu dia. Saya rasa tugas
seperti ini cocok untuknya. Besok saya akan diskusikan ini dengannya.”
(Skip)
SCENE 3
Keesokan harinya, Ibu Pratiwi selaku
Kepsek menepati kata-katanya. Beliau memanggil Dita untuk menghadap di
kantornya.
Kepsek :
(menjelaskan situasinya)
Dita :
“Saya? Kenapa saya, bu?”
Kepsek : “Ini keputusan terbaik yang sudah
disetujui oleh semua guru. Jadi, kamu minta bantuanmu ya, nak, ya?”
Dita : “Baik, Bu.”
Kepsek : “Tapi satu hal, jangan terlalu
mengumbar masalah ini ke teman-temanmu yang lain. Kasihan Roni, Brian, dan
Satria. Takutnya mereka malah merasa semakin berbeda dan akhirnya tidak mau
belajar.”
Dita : “Iya, Bu. Insyaallah saya usahakan.”
(Skip)
(Di kelas...)
Cecil : “Tadi kamu ngapain di ruang
kepsek?” (kepo)
Dita : “Eng... Aku ceritain, tapi
sebagai gantinya bantuin aku ya, Cil?”
Cecil : “Heh? Bantuin apa?”
Dita : “Udah, diam dulu”
(menjelaskan apa yang sudah dijelaskan oleh Ibu Kepala Sekolah tadi)
Cecil : “Dih, dih... ngajarin trio
nyebelin itu. O-...” (niatnya mau bilang ogah)
Dita : “Please yah? Yah? Please?”
Cecil : “... O-...kay. Okay.”
Dita
merencanakan untuk memulai tutor sebaya itu hari ini. Jadi, mereka mengajak
tiga orang itu untuk belajar bersama tepat setelah bel pulang. Tapi sayangnya,
ketiganya malah pulang lebih dulu.
Tidak
menyerah, Dita terus mengajak tiga temannya itu untuk belajar bersama. Pada
awalnya, ia terus ditolak dengan berbagai alasan, sampai-sampai Cecil harus
beberapa kali dibuat marah oleh mereka.
Cecil : “Ya udah, kalau tidak mau
belajar. Kalau nilai kalian nol ya jangan salahkan siapa-siapa! Nantipun kalau
waktunya UN kalian nggak punya bekal, itu salah kalian sendiri. Terus kalau UN
kalian jelek dan nggak bisa masuk Universitas yang udah dimimpi-mimpiin itu
juga...
Dita : “Mereka udah ngerti, nggak
usah diterusin.” (tersenyum pada Cecil) “Jadi gimana kalian bertiga? Ini juga
demi kebaikan kalian loh.”
Roni, Brian,
dan Satria tampak berpandangan, saling menanyakan bagaimana pendapat
masing-masing. Mereka sadar kalau kata-kata Cecil ada benarnya juga. Jadi
mereka memutuskan untuk mencoba usul Dita yang tidak lain adalah belajar
kelompok dengan tutor sebaya.
Roni :
“Okelah dicoba dulu.”
Karena
rutinitas lebih baik dari intensitas, mereka memutuskan untuk belajar kelompok
sepulang sekolah. Seperti biasa, Cecil yang tanpa disuruh langsung
mengkoordinir teman-temannya, dan Dita yang menjadi tutor sebaya.
Dengan sabar
setiap hari Dita mengajari ketiga temannya itu, sementara Cecil hanya membantu
semampunya. Namun, ketiganya (Roni, Brian, dan Satria) tidak juga paham
meskipun sudah dijelaskan berkali-kali. Tak hanya itu, kebiasaan mereka yang
selalu ingin pulang awal membuat mereka cenderung tidak konsen. Spontan, hal
itu kadang membuat Dita kesal juga dan mulai berputus asa. Hingga suatu hari ia
memutuskan untuk tidak melakukan belajar kelompok seperti yang biasa ia
lakukan.
Roni :
“Loh, hari ini nggak jadi?”
Cecil :
“Enggak.”
Brian : “Padahal
udah susah-susah bawa buku.”
Cecil :
“Ya derita lo.”
Brian :
“Ck.”
Satria :
“Emang kenapa kok nggak jadi?”
Cecil :
“Nggak apa-apa, hari ini Dita ada kegiatan lain jadi nggak bisa.”
Roni :
“Oh.”
Satria :
“Ya udah, yuk pulang.”
Brian :
(ndumel)
Roni :
“Ya udah. Thanks ya Cil.”
Cecil :
(mengangguk sambil mengiyakan)
SCENE 4
Sudah
beberapa hari Dita tidak menjadi tutor sebaya untuk ketiga temannya. Barangkali
ia masih terlalu muak untuk melakukannya lagi. Hal itu tentu membuat Cecil
menjadi khawatir, karena tidak biasanya Dita bersikap seperti itu.
Cecil :
“Kok udah nggak belajar kelompok lagi, Dit?”
Dita :
“Tahu ah, males.”
Cecil :
“Males? Males?”
Dita :
“Iya males. Ma-les. Emang nggak boleh kalau mendadak aku jadi males?”
Cecil :
“Ya, itu tergantung alasannya sih. Emang alasanmu apa?”
Dita : “Males, karena mereka nggak
konsen kalau diajari.” (ngambek)
Cecil : “Itu aja?”
Dita : “Tahu ah! Mungkin aku nggak
cocok jadi pengajar. Cocoknya cuma belajar.”
Cecil : “Haduh, haduh... nggak nyangka
kalau hari ini bakal datang.” (menghela nafas panjang)
Cecil
berusaha menghibur Dita sambil terus meyakinkannya untuk melanjutkan belajar
kelompoknya itu. Ia mencoba meyakinkan bahwa usaha Dita tidak akan sia-sia.
Selain itu, jika Roni, Brian, dan Satria juga bisa lulus dengan nilai baik kan
siapa yang ikut senang? Orangtuanya pasti, guru-guru apalagi, tapi bukankah
Dita nanti juga ikut senang? Senang karena usahanya ikut terbayar.
Cecil : “Ayolah... mana cucu Einstein
yang hebat itu? Katanya mau meneladani Nabi? Masa cuma gitu aja langsung
usahanya berhenti?”
Dita : “Hm, iya sih.” (berpikir
sejenak)
Cecil : “Ayo, jangan putus asa, Dit!
Katanya orang cerdas selalu punya solusi? Kalau begitu buktikan gimana caranya
supaya mereka bertiga bisa makin produktif dan semangat belajarnya.”
Dita : “Ah, tahu ah! Pikirin nanti.”
(Skip)
Saat Bu Fira
datang, tiba-tiba beliau membagikan selebaran berisi soal latihan yang harus
dikerjakan. Murid-murid tampak kaget bukan main.
Bu Fira : “Jangan khawatir, anak-anak.
Soalnya mudah, kok. Semua yang ada di soal itu saya ambil dari materi-materi
sebelumnya. Jadi, tidak sulit selama kalian memperhatikan pelajaran.”
Cecil : “Iya, bu. Tapi kenapa
mendadak? Biasanya enggak.”
Bu Fira : “Sudah, kerjakan saja.”
Setelah beberapa saat, semua jawab
pun dikumpulkan dan dikoreksi saat itu juga. Dimana dari soal latihan yang
diberikan Bu Fira tersebut, beliau melihat adanya kemajuan pada diri tiga orang
tadi.
Bu Fira : “Alhamdulillah, selamat untuk
kalian bertiga : Roni, Brian, dan Satria. Nilai kalian cukup memuaskan.”
Roni : “Nilai kami berapa, Bu?”
Bu Fira : “Hampir KKM kita. Untungnya ini
masih soal latihan, bukan ulangan”
Satria : “Yah, bu.. Masa nilai mendekati
KKM dibilang memuaskan.”
Bu Fira : “Loh, jangan salah. Biasanya
kalian mendapat berapa?”
R/B/S : “Ng... jauh sih, bu.”
Bu Fira : “Nah, sekarang nilai kalian
hampir KKM. Apakah itu bukan kemajuan?”
“Untuk itu, nanti kalian harus belajar lagi
yang lebih rajin untuk meningkatkan nilai kalian, supaya tidak perlu ada
remidi.”
Melihat hal
itu, Dita sempat merasa bersalah. Ia yakin, bisa saja ketiga temannya itu
mendapat nilai yang lebih baik kalau saja beberapa hari terakhir ini ia tidak
menghentikan belajar kelompoknya.
Dita : (bergumam) “Iya, ya, apa
jadinya mereka kalau kubiarkan begitu saja.” (menepuk pundak Cecil) “Eh, Cil,
kayaknya kamu ada benarnya. Kalau mereka bertiga kutinggalkan, yang ada mereka
kembali jadi anak-anak yang hopeless begitu.”
Cecil : “Nah, maka dari itu..!”
Dita : “Ya sudah, besok sepulang
sekolah kita mulai lagi. Aku juga ada ide supaya mereka mau lebih giat untuk
belajar.”
Cecil : “Oh ya? Ide apa?”
Dita : “Sudah, kita lihat saja
nanti.”
(Skip)
Besoknya,
sepulang sekolah, Dita menepati janjinya untuk memulai kembali belajar kelompok
yang dulu ia rintis. Namun kali ini ia memiliki lebih banyak ide dan persiapan
untuk lebih bisa memotivasi mereka untuk lebih konsentrasi dalam belajar.
Dita : (meletakkan sesuatu di meja)
“Tumpukan yang kalian lihat ini adalah soal-soal yang sudah aku siapkan. Mulai
sekarang, setiap selesai belajar kelompok, kalian harus mengerjakan soal-soal
untuk mengetest kemampuan kalian. Sebelum selesai dengan nilai yang cukup
memuaskan, kalian tidak boleh pulang. Setuju?”
Roni : “Hah? Serius?”
Dita : “Iya.” (dengan nada
tenang) “Tapi sebelum itu, ayo kita
ganti suasana belajar kita. Belajar yang terlalu berkutat pada buku pasti
membuat kalian suntuk. Jadi, kita bisa belajar di luar, di ruangan lain, sambil
dengerin musik atau sambil ngemil.”
Roni : “Semua musik, boleh?”
Cecil : “Bolehnya musik instrumental!
Musik yang nggak bising.”
Roni : “Yaaahh...”
Satria : “Bagus, kalau begitu aku ke
kantin dulu, mau beli jajan.”
Brian : “Sat, beliin aku juga!”
Satria : “Beres. Semua kubeliin.”
Belajar
kelompok kembali dilanjutkan. Hal itu membuat Roni, Brian, dan Satria mendadak
menjadi antusias. Mereka antusias tidak hanya suasana belajar mereka yang baru,
tapi dengan kembalinya tutor sebaya mereka (Dita), mereka bisa mendapatkan
nilai yang lebih baik. Selain itu,dari apa yang dikatakan Bu Fira kemarin,
tampak ada harapan untuk mereka bisa lulus dengan baik dan pergi ke Universitas
yang diinginkan.
(Skip)
Sementara itu di ruang kepala sekolah...
Kepsek : “Beberapa kali saya datang untuk
memeriksa keadaan mereka, saya lihat mereka cukup antusias dengan adanya tutor
sebaya dari Dita. Tapi bagaimana bu dengan nilai akademik mereka?”
Bu Rena : “Alhamdulillah, bu, ada kemajuan.”
(tersenyum senang) “Mereka juga cenderung lebih diam memperhatikan saaat saya
terangkan.”
Kepsek : “Kalau Bu Fira sendiri?”
Bu Fira : “Iya, bu, sama dengan Bu Rena.
Nila mereka juga alhamdulillah naik.”
Kepsek : “Alhamdulillah kalau begitu.”
“Final dari hasil belajar mereka dapat kita
lihat di UAS dan UN. Semoga saja tetap sebaik yang diharapkan.”
(skip)